Saat organisasi pergerakan Budi Utomo lahir yang digagas oleh Dokter Sutomo, Cipto Mangunkusumo segera menggabungkan diri menjadi anggota.
Di Budi Utomo inilah pikiran-pikiran dan gagasan politik Cipto Mangunkusumo mulai terlihat dengan jelas.
Seperti saat Cipto mengusulkan agar Budi Utomo menjadi organisasi yang terbuka dan demokratis bagi seluruh rakyat, dan tidak menjadi organisasi elitis bagi kalangan priyayi saja.
Namun pandangan Cipto itu mendapat pertentangan dari Radjiman Wedyodiningrat, anggota Budi Utomo yang lain.
Radjiman yang merupakan dokter Raja Kasunanan Solo ini menginginkan Budi Utomo untuk tetap menjadi gerakan kebudayaan yang Jawa-sentris, dan menolak usulan dari Cipto.
Akibatnya, Cipto Mangunkusumo memilih untuk mundur dari keanggotaannya di Budi Utomo.
Setelah ikatan dinasnya berakhir, Cipto membuka praktik dokter di Solo, Jawa Tengah.
Di Solo inilah perhatian Cipto pada kesusahan rakyat kian bertambah. Dia masuk dari kampung ke kampung untuk menyembuhkan penyakit rakyat tanpa bayaran.
Di Solo pula, Cipto Mangunkusumo lebih dikenal sebagai “Wong Pinter” atau orang pintar, ketimbang “Dokter Rakyat” yang sesuai dengan gelar akademisnya.
Bahkan tidak sedikit orang Jawa pada waktu itu yang mengira Cipto Mangunkusumo adalah seorang dukun walaupun menggunakan alat-alat kedokteran saat mengobati pasien.
Pada tahun 1910, terjadi wabah pes di Malang, Jawa Timur. Penyakit yang disebabkan oleh kutu tikus itu sangat mudah menyebar dan sulit ditangani.
Kondisi diperparah dengan jiwa rasisme dokter-dokter Belanda yang tidak mau dikirim ke Malang dengan alasan jijik dan takut tertular.
Baca juga: 8 Kiai Bergelar Pahlawan Nasional, Ada KH Hasyim Asyari hingga KH Ahmad Dahlan
Cipto Mangunkusumo yang geram dengan sikap dokter-dokter itu lantas memberanikan diri mendaftar menjadi tenaga medis untuk ditempatkan di Malang.
Permintaan itu dikabulkan. Cipto lantas dikirim sebagai dokter dinas di Malang. Di sana, dia dengan sepenuh jiwa mengobati para korban pes yang mayoritas masyarakat pribumi.
Selama menangani wabah pes di Malang ini, Cipto senantiasa keliling ke pelosok-pelosok. Aksinya mengobati pasien ini dilakukan tanpa menggunakan masker atau penutup hidung sama sekali.
Berhadapan dengan para pasien pes, Cipto menunjukkan sifat budi luhurnya. Dia menangani pasien dengan penuh welas asih, rasa kemanusiaan, dan penuh dedikasi.
Di Malang pula kemudian muncul nama yang melekat saat membahas perjuangan Cipto Mangunkusumo, yaitu seorang anak bernama Pestiati.
Suatu hari, Cipto mendengar jeritan anak perempuan dari dalam rumah yang dibakar warga. Benar, rumah itu dibakar warga karena penghuninya menjadi korban pes.
Warga percaya, dengan membakar rumah tersebut maka penyakit pes tidak akan menyebar ke lingkungan sekitar.