Pada 1918, sekembalinya dari negeri Belanda, Abdul Muis pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg.
Baca juga: Sempat Dipukul Mundur, Massa Tolak Omnibus Law Kembali Rapatkan Barisan di Abdul Muis Jakarta Pusat
Pada 1918, Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ, bersama tokoh lainnya Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah Belanda.
Pada 1922, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalam PPPB (Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.
Setahun kemudian, ia memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatera Barat. Protes berhasil, landretestelsel urung dilakukan.
Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui dua surat kabar itu, ia terus melancarkan serangan.
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Baca juga: Imbas Penutupan Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Abdul Muis Macet
Maka pada 1926, Abdul Muis tidak boleh ke luar Jawa dan Madura. Akibatnya selama 13 tahun (1926-1939), ia tidak boleh meninggalkan pulau Jawa.
Aturan tersebut tidak membuat Abdul Muis surut, ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabat itu tidak bertahan lama.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif dalam dunia politik.
Pada 1926, Serikat Islam mencalonkannya (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diemban hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai menggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebagai pegawai socialez zaken.
Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun pada zaman pasca proklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sudah terlihat sejak ia bekerja di dunia penerbitan, terutama harian Kaum Muda yang dipimpinnya.
Baca juga: Penutupan Jalan Kebon Sirih, Kendaraan Dibuang ke Jalan Abdul Muis
Dengan Inisial AM, ia menulis banyak hal terutama roman sejarah. Salah satunya adalah roman sejarah Surapati. Sebelum diteritkan sebagai buku roman tersebut diterbitkan sebagai cerita bersambung di harian Kaum Muda yang dipimpinnya.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang produktif. Ia menghasilkan empat buah novel dan beberapa karya sastra.
Dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah karya sastra Indonesia. Karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu.
Jika pada saat itu, sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama, seperti pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat. Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi, yaitu dendam, cinta, dan cita-cita.
Karya