Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Investasi Bodong Rp 84,9 Miliar di Pekanbaru, Ini Pendapat Ahli

Kompas.com - 25/01/2022, 13:44 WIB
Idon Tanjung,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

PEKANBARU, KOMPAS.com - Ahli pidana dan ahli perbankan dihadirkan dalam sidang kasus investasi bodong senilai Rp 84,9 miliar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Riau, Senin (24/1/2022).

Dalam sidang tersebut, kelima terdakwa juga dihadirkan oleh jaksa.

Adapun empat orang terdakwa merupakan keluarga konglomerat Salim, yakni Agung Salim, Elly Salim, Bhakti Salim, dan Christian Salim.

Mereka adalah bos dari perusahaan group Fikasa.

Baca juga: Sidang Investasi Bodong Rp 84,9 Miliar di Pekanbaru, Pengacara Debat dengan Dokter

Sedangkan satu terdakwa lainnya adalah Maryani, yang bertugas mencari nasabah di Kota Pekanbaru.

Mereka diduga melakukan penipuan dengan modus investasi bodong hingga merugikan para korban senilai Rp 84,9 miliar.

Ahli pidana yang dihadirkan adalah Profesor Dr Agus Surono, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Sedangkan saksi ahli perbankan, yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Rouli Anita Velentina.

Baca juga: Sidang Kasus Investasi Bodong Rp 84,9 M, Terdakwa Tidur Saat Sidang, Hakim Minta Diawasi Ketat

Agus Surono yang diwawancarai Kompas.com usai sidang mengatakan, di dalam perbuatan korporasi ada beberapa pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban, yakni korporasinya dalam bentuk denda, dan pengurus korporasi dalam sanksi pidana.

"Artinya pengurus korporasi juga bisa dimintai tanggung jawab ketika kemudian apa yang dilakukan dengan penerbitan menghimpun dana dari masyarakat. Kemudian dengan menerbitkan promissory notes tanpa izin dari otoritas yang berwenang, ini bisa dikualifikasikan sebagai satu perbuatan korporasi," kata Agus, Senin.

Menurut Agus, kasus ini tidak hanya bisa dilihat dari aspek hukum pidana perbankan.

Bahkan, ini juga bisa dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Bisa dikaitkan dengan pidana perbankan dan juga bisa delik di dalam KUHP, Pasal 378  tentang penipuan dan Pasal 372 tentang penggelapan," sebut Agus.

Baca juga: Sidang Kasus Investasi Bodong Rp 84,9 Miliar di Pekanbaru, 5 Terdakwa Minta Bebas, Ditolak Hakim

Agus meminta masyarakat agar lebih hati-hati terhadap banyaknya modus penipuan.

"Masyarakat tentu harus hati-hati. Dicek dulu perizinan korporasinya, apakah ada izin dari otoritas berwenang dan lainnya. Supaya masyarakat tidak lagi menjadi korban," kata Agus.

Dalam kasus dugaan investasi bodong ini, Agus juga menyoroti problem hukum saat ini, yaitu belum adanya undang-undang terkait perampasan aset.

"Probem hukum kita masih ada lubang, yaitu kita belum punya undang-undang perampasan aset. Nah ini yang harus kita dorong supaya aset-aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik tindak pidana korupsi atau model seperti ini (dugaan investasi bodong) itu bisa ditarik kembali. Artinya, kalau misalnya ada kaitannya dengan aset korban, maka itu dikembalikan kepada korban. Itu yang mesti kita dorong supaya segera diundangkan oleh DPR," kata Agus.

 

Ahli perbankan

Sementara itu, ahli perbankan Rouli Anita Velentina menyampaikan, keterangan yang dia berikan dalam persidangan produk yang dikeluarkan korporasi, yakni berupa promissory notes.

Menurut Rouli, pada saat majelis hakim memperlihatkan bentuk sertifikat, berikut surat perjanjian dalam investasi itu, menurut dia, produk tersebut patut diduga dikategorikan sebagai simpanan.

"Karena ketika mengeluarkan produk, para pihak boleh menamakan produk itu apa pun. Tapi, yang jadi persoalan apakah produk itu masuk ke dalam simpanan? Maka harus ditelaah karakteristik simpanan itu sendiri," kata Rouli usai persidangan, Senin.

Baca juga: Wanita Pelaku Investasi Bodong di Pekanbaru Ditangkap, Ada 18 Korban, Kerugian Rp 6 Miliar

Ia menjelaskan, simpanan itu menurut undang-undang perbankan adalah dana yang dipercayakan masyarakat berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

Menurut Rouli, produk promissory notes itu patut diduga sebagai simpanan.

Sebab, adanya dana yang dipercayakan oleh masyarakat dan adanya perjanjian penyimpanan dana.

"Antara definisi terminologi hukum penyimpanan dana dan penempatan dana adalah sama menurut undang-undang perbankan. Artinya, di sini kita bisa katakan memenuhi karakteristik simpanan, karena adanya perjanjian penyimpanan dana. Jadi saya lihat apa yang ditunjukkan majelis hakim tadi, produk itu patut diduga sama dengan karakteristik deposito. Artinya apa, diambil (bunganya) itu dalam jangka waktu tertentu," kata Rouli.

Rouli mengatakan, kasus itu diduga memenuhi ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Perbankan, terkait penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

Ia melihat kejadian seperti ini sudah banyak terjadi dan banyak sekali masyarakat yang menjadi korban.

"Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah untuk lebih tegas lagi dalam pengawasannya. Pihak kepolisian juga harus bertindak aktif, jangan hanya laporan dari masyarakat. Tetapi, ketika melihat adanya hal-hal seperti itu harus ditindak, agar tidak banyak masyarakat yang menjadi korban," ujar Rouli.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com