Tari Kendalen berasal dari dusun Kendal, Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Tari ini dikembangkan setelah Pangeran Sambernyawa berhasil memenangkan pertempuran melawan VOC dan mendirikan Pura Mangkunegaran.
Tak heran, Tari Kendalen ini menerapkan gerakan yang mencerminkan seorang prajurit yang gagah berani. Selain itu, Kendalen juga termasuk dalam tari keprajuritan.
Penari Kendalen mengenakan busana khas prajurit khas Jawa Tengah, dan umumnya tidak menggunakan atasan.
Untuk bawahan, penari Kendalen menggunakan celana sepertiga khas Jawa Tengah, lalu dilengkapi dengan kain batik dililitkan di pinggang.
Sama seperti jathilan, penari Kendalen juga menggunakan properti juda dari anyaman bambu atau jaran kepang.
Baca juga: 5 Pakaian Adat Jawa Tengah dan Ciri Khasnya
Tarian Jawa Tengah berikutnya adalah Tari Gambyong. Gerakan dasar tarian ini diambil dari Tari Tayub, dan berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.
Berbeda dari tarian pada umumnya yang dikembangkan di lingkungan keraton, Tari Gambyong ini justru populer di lingkungan masyarakat terlebih dahulu, dan berkembang jadi tarian istana.
Pada mulanya, Tari Gambyong dipentaskan sebagai hiburan rakyat pada masa panen padi. Namun saat ini, tarian ini dipentaskan untuk acara sakral, seperti penyambutan tamu.
Tari Gambyong diiringi oleh gending Jawa (musik Jawa) yang dilantunkan oleh sinden (penyanyi) dan tetabuhan gamelan (alat musik tradisional Jawa).
Sejarah Tari Gambyong bermula pada abad ke-18. Tari ini tercatat dalam Serat Centini yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (1788-1820) dan Pakubuwono V (1820-1823).
Dalam Serat Centini ini, Tari Gambyong disebut sebagai tarian tlèdhèk.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono IX, tari Gambyong kemudian digarap oleh KRMT Wreksadiningrat dan diperkenalkan kepada masyarakat luas.
Baca juga: Tari Jaipong: Asal, Sejarah, dan Gerakan