Sahnan menjelaskan, ia mengakui pernah ada lapas.
Namun, menurut peta tahun 1993, lapas tersebut bukan di lahan pamannya, melainkan berjarak 100 meter dari lahan tersebut.
"Kalau dari gambar peta 1993 itu, lapas itu luasnya satu hektar 94 are, dari titik tanah lapas, dengan tanah ayahanda kami (Amaq Maye) itu sekitar 100 meter, nah tanah kami ini yang diklaim sama ITDC," kata Sahnan.
Baca juga: Melihat Keindahan Sirkuit Mandalika dari Bukit Seger di Lombok Tengah
Sebelumnya dalam pemagaran kedua pada September 2021, Amaq Maye menyebutkan tanahnya belum dibayar sepeser pun oleh ITDC.
"Sudah dua kali kami melakukan aksi seperti ini, tapi perusahaan tidak pernah merespons, kami tidak pernah melihat bayaran serupiah pun," kata Maye ditemui di lokasi pemagaran waktu itu
Maye mengatakan, ia menguasai lahan ini sejak awal saat masih berupa hutan pada tahun 1967 sebelum masuknya ITDC.
"Dulu ngagum kita ini, jadi kita yang bukan lahan ini yang awalnya hutan, itu pada tahun 67, dulu belum ada namanya ITDC," katanya.
Baca juga: Sirkuit Mandalika dan Kisah Negara Ribuan Pulau yang Kalah Jumlah Wisatawannya dari Singapura
Dia mengungkapkan, sangat mendukung program pemerintah atas pembangunan di Mandalika untuk kepentingan bersama.
Kendati demikian, persoalan hak atas lahannya harus terlebih dulu diselesaikan.
"Kami tidak pernah meminta bayaran tinggi, sesuai harga pemerintah aja ini kan untuk kepentingan negara, silakan ITDC datang ke rumah kita tawar-menawar, tapi tidak pernah datang," katanya.
Baca juga: Sudah Diverifikasi, 107 Rumah Tak Layak Huni di Koridor Sirkuit Mandalika Akan Dibedah