NTB, KOMPAS.com- Cerita parau mereka yang merasa dicovidkan, sayup-sayup terdengar di masyarakat, beredar dari mulut ke mulut.
Ketidakpercayaan ini salah satunya memicu aksi pengambilan paksa jenazah diduga terpapar Covid-19 di sejumlah daerah di NTB.
Tidak hanya sekali, aksi ini terjadi berulang kali hingga aparat kepolisian turun tangan dan membangun posko pengamanan di sejumlah rumah sakit rujukan.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Jatim, DIY, Bali, NTB, NTT, Kalbar, dan Kalsel 12 Desember 2021
Kasus pengambilan paksa seperti pada jenazah S, juga dialami pasien Covid-19 di NTB nomor 1927, M (35), asal Kecamatan Labuapi, Lombok Barat.
M adalah pasien ke-110 dalam catatan Satgas Covid-19. Ia berpulang pada 27 Juli 2020.
M dibawa pulang menggunakan ambulans, namun proses pemulasaran dan pemakamannya dilakukan tanpa protokol Covid-19.
H, paman M, menuturkan, keluarga memutuskan membuka kantong jenazah agar pemulasaraan dilakukan sesuai syariat Islam.
Alangkah kagetnya ia, karena saat kantong jenazah dibuka, wajah keponakannya terbalut kapas dan lakban, sementara dompet serta handphone masih ada di kantong celana yang telah dibungkus kantung jenazah.
“Apa begitu caranya? Membiarkan jenazah membawa pakaian dan barang-barangnya sebelum dimakamkan. Itulah yang membuat kami tidak percaya pada rumah sakit, kami sakit melihat kenyataan itu,” ungkap H.
Baca juga: Ramai Klaim Ranjang Covid-19 (1)
Sebelum meninggal, M memang sempat melakukan video call dengan keluarga di ruang isolasi.
Handphone yang digunakannya untuk video call itulah yang tertinggal di dalam kantong celananya.
M, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi NTB, M merupakan pasien ke-1927.
Ia dilaporkan meninggal pada 27 Juli 2020, dengan keluhan sesak, batuk, mual, dan dicurigai pneumonia.
M juga diketahui mengalami gagal ginjal dan harus cuci darah. Namun, saat akan cuci darah, Covid merebak.
M lalu dilaporkan terpapar Covid-19 dan meninggal.
Data BPJS Cabang Kota Mataram menyebutkan, biaya penanganan M sebesar Rp 14.752.448 per hari dengan total klaim Rp 30.110.000.
Baca juga: Ini Penjelasan Balai Jalan NTB soal Perusakan Jalan ByPass Mandalika karena Banjir
OZ (9), warga Desa Kediri, Lombok Barat. Satgas Covid-19 menyatakan OZ meninggal pada 4 Agustus 2021.
OZ meninggal di puncak gelombang kedua wabah Covid-19 di Lombok Barat, termasuk di Kediri.
Sepanjang Juni-Juli 2021 hampir setiap hari ada warga yang terdeteksi Covid-19 dan ada warga yang meninggal dunia karena virus ini.
Ketika itu angka positif Covid-19 di Kabupaten Lombok Barat sebesar 2.306 kasus, dan 108 orang meninggal dunia.
Angka positif Covid di NTB sendiri pada waktu itu mencapai angka 19.663 kasus dengan 681 kematian.
Baca juga: Sembunyikan Sabu Dalam Anus, 5 Pengedar Narkoba di NTB Ditangkap, 1 Masih Buron
Paman OZ yang bernama Farid, menuturkan, OZ yang telah lama kesulitan kencing dan tak bisa lagi menahan sakitnya pada 19 Juli 2021.
Dia dibawa ke RSUD Tripat, Lombok Barat, kemudian dirujuk ke RSUP NTB.
Pihak rumah sakit langsung mengambil keputusan akan mengoperasinya.
Sembari menunggu jadwal operasi, keluarga diminta menandatangani surat persetujuan agar putra mereka masuk ruang isolasi.
“Orangtuanya menolak anaknya diisolasi,“ kata Farid.
OZ lalu dibawa pulang. Keluarga berencana menggunakan pengobatan alternatif.
Tengah malam, 20 Juli 2021, OZ pingsan. Ia dibawa ke Puskesmas Kediri lalu dirujuk kembali ke RSUD Tripat Lombok Barat.
Sempat dirawat di ruang IDG, OZ meninggal 21 Juli 2021 dini hari, sebelum mendapatkan perawatan lanjutan.
Menurut sang paman, ada perbedaan tanggal kematian antara versi Satgas Covid-19 dan tanggal kematian sebenarnya.
Menanggapi soal perbedaan tanggal kematian ini, Kepala Puskesmas Kediri, H. Suruji, meminta supervisor Puskesmas Kediri, Farid Zuani, untuk membantu memberikan penjelasan.
Farid membenarkan kematian OZ yang sebenarnya 21 Juli 2021, namun tertulis mundur dua pekan atau 14 hari, menjadi tanggal 4 Agustus 2021.
“Kita sudah minta data itu diubah,” kata Farid. Farid juga menyebutkan, ada kesalahan data soal isolasi.
OZ disebutkan menjalani isolasi selama dua pekan di fasilitas isolasi Puskesmas Kediri, padahal tidak.
Namun menurut Farid, kesalahaan data sebelumnya juga terjadi pada pasien lain asal Desa Montong Are, Kecamatan Kediri.
Tertulis pasien itu masih isoman, padahal telah meninggal. Memang, meski tidak merawat pasien Covid-19, Puskemas Kediri menyediakan tempat untuk isolasi mandiri.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 untuk Anak 6-11 Tahun di Bali Dimulai 15 Desember
Pelaksanaan isolasi mandiri, menurut Suruji, harus dengan sepengetahuan pihak Puskesmas.
Tak ada biaya yang disediakan Puskesmas. Akan tetapi Suruji mengaku kerap diminta menandatangani surat keterangan oleh rumah sakit yang menyatakan pasien tidak memiliki tempat isoman di rumahnya, sehingga harus menjalani isolasi di faskes agar bisa diklaim di BPJS.
“Permintaan seperti itu yang sering datang ke saya,” ujar Suruji.
Suruji mengatakan ia selalu menandatanganinya.
“Karena ini terkait dengan pendapatan mereka (rumah sakit), ya sudah. Toh dalam arti pasien ini selamat, tidak dibebani biaya. Pihak rumah sakit hanya mau sebagai bukti klaim di BPJS, ya sudah tanda tangan saja kita,” katanya.
Suruji menyebutkan, ada dua rumah sakit yang memintanya menadatangani surat klaim itu. Satu rumah sakit milik pemerintah dan satunya lagi swasta.
Pihak BPJS Cabang Mataram membenarkan jika pasien tidak memiliki tempat yang layak untuk isoman, maka isoman bisa dilakukan di fasilitas kesehatan.
“Dan klaim biaya bisa terverifikasi jika ada tanda tangan dari kepala puskesmas atas permintaan dari rumah sakit yang merekomendasikan pasien,” ujar Kepala Bidang Penjaminan Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan Cabang Mataram dr. Putu Gede Wawan Swandayana, Senin (30/11/2021).
Mengenai persoalan kematian OZ, Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan hal itu hanya kesalahan administrasi.
Kata dia, tidak ada kaitannya isoman dengan klaim.
“Ada ribuan data, ada saja kesalahan yang sifatnya administrated, seperti pasiennya masih hidup disebutkan sudah meninggal, tapi tidak ada niat kita sebagai nakes untuk melakukan tindakan itu (mencovidkan pasien),” ujarnya.
Penelusuran lebih jauh mengenai OZ, Kompas.com menemukan tidak ada uang dari BPJS yang keluar karena kesalahan tanggal tersebut.
OZ, pasien ke-17.856, tidak masuk dalam data klaim pembiayaan pasien covid BPJS.
“Kami sudah memeriksa pasien atas nama OZ, tidak ada dalam klaim covid yang diajukan RS Tripat. Tapi apakah karena tidak diajukan atau belum diajukan,” kata Wawan.
Sampai pengajuan terakhir bulan Desember 2021, nama OZ tidak ada dalam daftar.