SEMARANG, KOMPAS.com - Momentum peringatan Hari HAM Internasional, aktivis anti kekerasan seksual melakukan aksi turun ke jalan.
Mereka menuntut pemerintah agar segera mengesahkan RUU TPKS dan mengakomodir kerentanan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan.
Di depan Gedung DPRD Jawa Tengah, peserta aksi yang sebagian besar perempuan ini membawa poster berisi penolakan terhadap kekerasan seksual.
Tulisan dalam poster itu di antaranya "Perempuan Bukan Objek Seksual", "Indonesia Butuh RUU TPKS" dan "Saya Menolak Tindakan Kekerasan Seksual".
Peserta aksi pun secara bergantian melakukan orasi menyuarakan tuntutannya kepada pemerintah.
Selain itu, aksi juga diisi musikalisasi puisi, menyanyi hingga teatrikal.
Setelah itu, peserta aksi melakukan long march menuju kantor pos di kawasan patung kuda Undip untuk mengirimkan surat dukungan.
Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual di Surabaya Meningkat Selama Pandemi, Rata-rata Menimpa Anak di Bawah Umur
Perwakilan Jaringan Jawa Tengah Anti Kekerasan Seksual, Lenny Ristiyani menegaskan pengesahan RUU TPKS menjadi penantian panjang bagi korban kekerasan seksual.
"Masih ada tiga tahapan penyusunan yang harus dilalui, agar RUU TPKS disahkan. Situasi ini jelas menjadi kekhawatiran masyarakat terutama korban kekerasan seksual. Mengingat saat ini situasi kekerasan seksual sudah sangat darurat," jelas Lenny dalam siaran pers, Jumat (10/12/2021).
Data dari Jaringan Jawa Tengah Anti Kekerasan Seksual yang tercatat di LRC-KJHAM, tahun 2021 ada 80 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 120 perempuan menjadi korban dan 88 pelaku kekerasan.
"Kasus tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 89 atau 74 persen perempuan," ungkapnya.
Sementara, di LBH Semarang pada tahun 2021 mencatat ada 19 kasus kekerasan seksual dan di antaranya terdapat kasus KBGO.
Lenny menyebut kasus-kasus kekerasan seksual juga banyak ditemukan di dunia pendidikan seperti sekolah, kampus, pesantren dan lembaga pendidikan lainnya.
"Kasus-kasus yang terjadi di antaranya adalah pelecehan seksual (dicolek-colek tubuhnya, dirangkul tanpa persetujuan, dll), kekerasan seksual yang menggunakan transmisi elektronik atau media online, bahkan sampai diperkosa," ujarnya.