KOMPAS.com - Bayi-bayi yang dilahirkan para korban pemerkosaan guru pesantren di Bandung dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.
Oleh pelaku, para bayi tersebut diakui sebagai anak yatim piatu.
Fakta tersebut terungkap dari persidangan yang digelar tertutup beberapa waktu yang lalu.
Tak hanya itu, menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Livia Istania DF Iskandar, pelaku yang bernama Herry Wirawan juga mengambil dana dari Program Indonesia Pintar milik para korban.
Selain itu, dana BOS yang diterima oleh pihak ponpes tidak jelas penggunaannya.
Para korban juga dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru.
"Pelaku kemudian membujuk rayu anak didiknya hingga menjanjikan para korban akan disekolahkan sampai tingkat universitas," ucapnya.
Saat pemerkosaan terjadi, para korban tinggal di sebuah rumah yang dijadikan asrama pondok pesantren oleh pelaku.
Sidang itu menghadirkan terdakwa HW yang merupakan pemilik Ponpes MN yang digelar di PN Kota Bandung dari tanggal 17 November sampai 7 Desember 2021.
"Dari 12 orang anak di bawah umur, 7 di antaranya telah melahirkan anak pelaku," katanya.
Ia mengatakan, sebagian korban berasal dari Garut dan mereka maih bertalian saudara serta tetangga.
Oleh pelaku, para korban diiming-imingi biaya pesantren hingg sekolah gratis.
"Mereka di sana karena gratis, mereka banyak bertalian saudara dan tetangga juga," jelas Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan kepada wartawan, Kamis (9/12/2021) malam.
Menurut Diah, rata-rata para korban masuk ke pesantren tersebut mulai dari tahun 2016, sejak masih duduk di bangku SMP.