Keluarga Adelina di Soe, Timor Tengah Selatan, masih berharap akan ada keadilan bagi Adelina.
"Terombang-ambing tiga tahun, Kami berharap sidang nanti, pengadilan Malaysia menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatannya yang nyata-nyata telah mengorbankan jiwa orang lain, jiwa sesama," kata Isak La'a, pendamping keluarga Adelina kepada BBC News Indonesia.
Jika sebaliknya, terduga pelaku dibebaskan, Isak menyebut terjadi sebuah diskriminasi dan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) di Malaysia.
"Adelina itu betul-betul disiksa, dia menderita sakit dan kemudian meninggal. Keluarga sangat menyesal dan menuntut keadilan.
Baca juga: Majikan TKI Adelina Terancam Hukuman Mati
"Anak mereka pergi mencari berkat untuk keluarga, ternyata harus mengalami peristiwa nahas yang sangat menyedihkan dan memilukan," kata Isak.
Isak mengatakan, ia dan keluarga Adelina menaruh harapan yang besar kepada Pemerintah Indonesia supaya mendesak Malaysia menuntut keadilan bagi Adelina dan mencegah kasus serupa terjadi pada pekerja migran lainnya.
Ia mengatakan keadilan perlu ditegakkan.
"Malaysia harus memberi contoh. Mustahil bahwa tidak ada yang bersalah yang menyebabkan tragedi seperti itu.
"Saya bersama Adelina di hari terakhir hidupnya, saya melihat sendiri luka di tubuhnya. Bagaimana kita bisa mengatakan tidak ada yang menyebabkan semua itu?" kata Steven kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Warga NTT Gelar 1.000 Lilin untuk TKI Adelina Sau
Steven menambahkan, jika terdakwa ternyata dinyatakan bebas dari jerat sanksi pidana, maka dia menyebut "pemerintah [Malaysia] gagal melindungi kehidupan manusia".
Warga Malaysia juga menyatakan kemarahan ketika pengadilan banding membebaskan majikan Adelina.
Pada 14 Februari 2019, Menteri Sumberdaya M Kulasegaran, menyatakan sangat terkejut dan mengibarkan "perang" melawan perdagangan manusia dan mereka yang dipekerjakan secara paksa.
Baca juga: Joanna, Tenaga Kerja Filipina yang Bernasib seperti TKI Adelina
Pada umur 15 tahun, Juni 2013, ia berangkat ke Malaysia pertama kali dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan.
Di Indonesia, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun dan mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, setiba di Kuala Lumpur, Malaysia, majikan Adelina mengkonversi visa kunjungan singkatnya menjadi izin kerja sebagai PRT selama setahun.
Baca juga: Jenazah TKI Adelina akan Dimakamkan di Pemakaman Keluarga
Setelah izin habis, Adelina pulang ke Indonesia. Tapi, tiga bulan kemudian, Adelina kembali ke Malaysia menggunakan visa turis, dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam (anak dari Ambika) di Penang.
Di situ, Adelina bekerja sebagai PRT secara ilegal karena majikan tidak mengurus izin kerja, asuransi dan kontrak kerja.
Empat tahun berlalu, tepatnya 10 Februari 2018, Kepolisian Seberang Perai Tengah menyelamatkan Adelina dari penyiksaan dan membawanya ke rumah sakit setelah mendapatkan informasi dari para tetangga yang mendengarnya mengerang kesakitan.
Baca juga: Kronologi Tewasnya TKI Adelina di Malaysia
Adelina bahkan disebut hampir tidak bisa berjalan dan diduga dipaksa tidur di beranda rumah bersama anjing.
Majikannya dikabarkan tak mau cairan dari luka-luka di tubuhnya membuat kotor dalam rumah mereka.
Keesokan harinya, Adelina dinyatakan meninggal dunia, dengan dugaan Ambika melakukan penganiayaan.
Baca juga: Kerja di Malaysia Sejak 2015, Adelina Tak Pernah Komunikasi dengan Keluarga
Hasil autopsi (post mortem) rumah sakit menunjukkan, penyebab kematian adalah kegagalan multiorgan sekunder karena anemia (kemungkinan pengabaian).
Polisi menangkap Ambika dan ditahan dengan tuntutan Pasal 302 Kanun Keseksaan Bunuh (pidana pembunuhan) dengan ancaman hukuman mati, sementara putrinya, R Jayavartiny didakwa mempekerjakan Adelina secara ilegal.
Belum dilakukan pemeriksaan saksi dan barang bukti, pada 18 April 2019, namun jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan permohonan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA) ke Mahkamah Tinggi Pulau Pinang..
Artinya, JPU meminta terdakwa dibebaskan dari dakwaan, namun dapat dituntut lagi di kemudian hari.
Tetapi, hakim menolak permohonan JPU dan membebaskan terdakwa melalui putusan Discharge Amounting to Acquital (DAA).
Baca juga: Air Mata Keluarga Saat Jenazah TKI Adelina Tiba di Kupang
Pertimbangan hakim adalah JPU tidak mempersiapkan berkas tuntutan sesuai dengan waktu yang telah diberikan dan tidak dapat menjelaskan alasan permohonan DNAA. Ditambah, usia terdakwa Ambika yang sudah tua (lebih 60 tahun) dan sakit.
Mendengar putusan itu, JPU mengajukan banding ke Mahkamah Rayuan Putrajaya dan pada 22 September 2020, dan hakim memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.