KOMPAS.com - Gunung Semeru tak bisa dilepaskan dari sosok aktivis dan penulis, Soe Hok Gie.
Aktivis yang lantang melawan rezim awal Indonesia pasca-kemerdekaan itu meninggal di puncak Gunung Semeru jelang ulang tahunnya yang ke-27 yakni pada 16 Desember 1969.
Gie sendiri lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942.
Selain Gie, Idhan Dhavantari Lubis (19) rekan perjalana Gie juga meninggal di hari yang sama di puncak Gunung Semeru.
Baca juga: Profil Herman Lantang, Jadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI atas Dorongan Soe Hok Gie
Jenazah mereka berdua sempat berada di puncak Semeru sekitar sepekan hingga berhasil dievakuasi dan dibawa pulang ke Jakarta.
Menurut catatam Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Soe Hok Gie dan Idhan adalah korban pendaki gunung pertama yang meninggal di Gunung Semeru.
Perjalanan di mulai dari Stasiun Gambir pada 12 Desember 1969, tepatnya di hari lebaran kedua. Total ada delapan orang yang mengikuti pendakian ke Gunung Semeru.
Mereka adalah Hok Gie, Aristides, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman yakni Idhan Dhanvantari Lubis serta Freddy Lodewijk Lasut.
Rombongan berangkat dari Stasiun Gambir pukul 07.00 ke Stasiun Gubeng Surabaya.
Baca juga: Profil Pendiri Mapala UI Herman Lantang yang Baru Berpulang, Soe Hok Gie Meninggal di Pangkuannya
Pimpinan pendakian tersebut dipercayakan pada Herman Onesimus Lantang yang pernah melakukan penelitian di kalangan masyarakat Dani Timur di Lembah Baliem di Pegunungan Tengah, Papua.
Dua peserta termuda adalah Idhan yang berusia 19 tahun. Dia tercatat sebagai mahasiswa Universitas Tarumana Negara.
Sementara Freddy Lodewijk Lasut berusia 17 tahun. Baru lulus SMA dan bercita-cita menjadi mahasiswa UI.
Hok Gue sendiri saat itu telah menjadi dosen untuk mata kuliah Tekhnik Bacaan Ilmiah dan Kepustakaan.
Baca juga: Mengenang Soe Hok Gie, Aktivis yang Meninggal di Puncak Semeru karena Keracunan Gas
Rudi bercerita, di hari pertama keberangkatan, Hok Gie banyak mengumbar pengetahuannya tentang sejarah masa kompeni di Jawa.
Di pendakian tersebut, mereka membawa buku kecil tentang panduan pendakian Gunung Semeru, Gids voor Bergtochten op Java, karangan Dr Ch E Sthen.
Buku tersebut diterbitkan oleh Des Nederlandsch-Indische Vereniging voor Bergsport pada tahun 1930.
Mereka juga membawa buku tambahan Bergenweelde karangan CW Worsmter terbitan Bandung tahun 1927.
Mengikuti catatan buku Belanda tersebut, rombongan mereka pergi ke Kecamatan Tumpang menjelang Kota Malang dan mendatangi Desa Kunci, desa terakhir yang dilalui mobil.
Kala itu, Soe Hok Gie yang mengatur sewa mobil hingga ke desa terakhir.
Jelang shubuh mereka diajak beristirahat di rumah pimpinan Dukuh Gubuk Klalah, Binanjar.
Saat berdiskui rute yang akan ditempuh, Herman meminta rombongan untuk lewat Kali Amprong yang ada di ketinggian 1.000 mdpl.
Lalu melanjutkan ke Watu Pecah dan mengikuti pematang Gunung Ayek-ayek lalu turun ke Oro-oro Ombo kemudian menuju Gunung Bajangan.
Sementara menurut Binanjar, penduduk lokal akan memilih melewati Desa Ranupane untuk menuju ke Puncak Semeru karena jalan lebih landai dan tidak menanjak.
Baca juga: Prasasti Soe Hok Gie–Idhan Lubis Dipasang di Puncak Mahameru
Selain itu penduduk tidak perlu menyeberangi Kali Amprong yang sering banjir dadakan.
Saat itu sempat terjadi perdebatan antara Herman dengan Hok Gie karena Gie memilih untuk melewati jalan yang dilewati penduduk dan tak perlu menginap di Kali Amprong.
Perdebatan buntu. Herman ditemani Artides serta Idhan dan Freddy tetap memilih menginap di Kali Amprong,
Sementara Gie, Wiwiek, Maman, dan Badil menginap di rumah Binanjar di Gubuk Klakah.