PURBALINGGA, KOMPAS.com - Ada kisah perjuangan penderes atau penyadap nira di balik manisnya gula kelapa.
Mereka setiap hari menyabung nyawa demi menakik tetes getah mayang dari pucuk nyiur nan tinggi.
Namun, kenyataanya tidak semua cerita tentang penyadap nira selalu berakhir bahagia.
Banyak dari mereka mengalami kisah tragis jatuh dari pohon saat tengah bekerja.
Sebagian langsung meregang nyawa karena cidera serius. Sebagian lain terpaksa menanggung cacat permanen hingga lumpuh seumur hidup.
Baca juga: Jatuh dari Pohon Kelapa, Empat Penderes Nira Tewas, 3 Luka Berat
Kisah getir salah satu penyintas itu datang dari Sahudin (40), mantan penyadap nira di Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Masih lekat di ingatan ketika petaka menyambangi Sahudin pada tahun 2016 silam.
Jumat pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, bapak dua anak itu terjatuh dari pohon kelapa setinggi 16 meter.
"Posisi jatuhnya punggung duluan, sakitnya luas biasa, sampai engga bisa gerak. Untung ada orang yang dengar jadi langsung ditolong, saya digendong ke rumah," kata Sahudin, saat berbincang dengan Kompas.com belum lama ini.
Siang itu juga, Sahudin langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan tindakan medis. Namun, benturan yang terjadi saat jatuh mengakibatkan tulang ekornya remuk.
Cidera parah tersebut membuat bagian pinggang hingga ujung kaki Sahudin lumpuh layu.
Sejak saat itu, tak banyak yang bisa dilakukan Sahudin kecuali membunuh waktu, terkulai di atas dipan kayu.
"Padahal, sebelum jatuh, saya biasa naik 38 pohon. Kalau cuaca lagi bagus produksi sampai 12 kilogram, habis setor ke juragan bisa bawa pulang Rp 200.000 setiap hari," ujar dia.
Keberadaan penyadap nira yang celaka seperti Sahudin memang selalu luput dari perhatian banyak orang.
Terbukti, hingga saat ini, tidak ada sedikit pun bantuan atau santunan yang diberikan oleh pemerintah setempat kepadanya.
Demi mencukupi kebutuhan keluarga, istri Sahudin akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik bulu mata palsu.
Namun, badai cobaan datang menghampiri keluarga Sahudin.
Kedua anaknya putus sekolah karena kekurangan biaya. Sementara istrinya memilih pergi karena Sahudin sudah tak mampu menafkahi lahir dan batin.
“Sekarang saya tinggal sama orangtua, saya sedih karena jadi beban keluarga,” ucap Sahudin dengan tatapan tanpa harapan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.