"Itu bukan cara untuk menghadapi pemberontakan, tapi cara-cara dalam perang konvensional," kata Agus.
"Operasi di Timor Timur dulu masuk kategori insurgency plus sehingga militer menggunakan bantuan tembakan taktis dari udara, walau tidak secara besar-besaran," tuturnya.
Dari perspektif militer, menurut Agus, serangan udara untuk menghadapi TPNPB tidak efisien. Ia merujuk pesebaran milisi pro-kemerdekaan yang tidak terpusat dan jumlahnya yang tidak masif.
Bagaimanapun, Agus menyebut mortir adalah persenjataan militer. Penggunaannya, kata dia, harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas.
Baca juga: Situasi di Kiwirok Tidak Kondusif, Kapolda Papua: Kalau Warga Ingin Dievakuasi, Kita Evakuasi
"Sepatutnya ada akuntabilitas. Sebetulnya transparansi ini bisa terwujud dengan dorongan elemen lain. DPR, misalnya, bisa bertanya apa payung hukum operasi di Papua," kata Agus.
"Kalau dorongan itu tidak kuat, TNI dan aparat keamanan bisa merasa tidak diingatkan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang benar dan yang belum benar.
"Indonesia punya pengalaman menetapkan status darurat militer di Aceh dan Timor Timur serta mengatasi berbagai pemberontakan.
"Generasi masa lalu lebih sadar soal supremasi hukum dan perbedaan kewenangan dalam tingkat kondisi darurat daripada kondisi kontemporer yang seolah-olah bebas menggunakan metode apapun," ujar Agus.
Baca juga: Prajurit TNI Gugur Ditembak KKB Saat Jaga Proses Evakuasi Jenazah Suster Gabriela di Kiwirok
Sejak masuk DPR pada 2019, Yan duduk di Komisi I DPR, institusi yang mengawasi bidang kerja TNI.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.