Saat Yeskiel meninggalkan Sugapa, warga lokal bernama Mina tetap bertahan di pengungsian yang dikoordinasikan pihak gereja.
Mina adalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan warga Sugapa yang mengungsi sejak kontak tembak akhir Oktober lalu.
Setiap pihak di Intan Jaya menyebut angka yang berbeda terkait pengungsi. Rentangnya dari ratusan hingga ribuan orang.
Baca juga: Kontak Senjata dengan KKB Kembali Terjadi di Distrik Suru-suru, Satu Prajurit TNI Alami Luka Tembak
BBC News Indonesia tidak bisa memverifikasi secara langsung kebenaran beragam angka itu.
"Kami hidup dalam ketakutan. Kami juga trauma karena kontak tembak ini terjadi di dekat rumah kami," ujar Mina.
Ini bukanlah pengalaman pertama Mina dan keluarga tidur di tenda pengungsian. Awal Februari lalu, mereka juga meninggalkan rumah atas alasannya yang sama.
Walau sebagian warga menanggap gereja adalah tempat mengungsi yang paling aman dan nyaman, tenda-tenda yang didirikan di lokasi itu tidak layak huni, apalagi untuk menampung begitu banyak orang.
Pengungsian itu beratap terpal dan beralaskan alang-alang. Tempat ini diutamakan untuk anak dan perempuan.
Baca juga: Kontak Senjata dengan KKB Kembali Terjadi di Distrik Suru-suru, Satu Prajurit TNI Alami Luka Tembak
Namun mereka kerap harus saling bergantian mengisi ruang.
Di pengungsian, kelangsungan hidup Mina dan keluarganya juga bergantung pada bantuan. Jika tak ada sumbangan makanan, mereka harus menahan rasa lapar.
"Kami tidak bisa ambil bahan makanan ke kebun karena kebun letaknya di antara gunung. Setiap gunung dikuasai aparat dan TPNPB," kata Mina.
Pengungsi lainnya, seorang laki-laki paruh baya bernama Mepa, menyebut aksi saling serang antara aparat dan TPNPB tidak pernah separah ini.
Tidak hanya berlangsung selama belasan hari, lokasi pertempuran juga sudah bergeser dari hutan ke sekitar permukiman warga.
Baca juga: Kontak Senjata dengan KKB Kembali Terjadi di Distrik Suru-suru, Satu Prajurit TNI Alami Luka Tembak
"Yang kami rasakan adalah penderitaan di atas penderitaan. Anak kecil trauma karena kontak tembak bahkan terjadi di sekitar halaman gereja," ujarnya.
Saat liputan ini disusun, warga sipil kembali menjadi korban kontak tembak antara aparat dan TPNPB di Sugapa.
Pada 9 November, perempuan bernama Agustina tertembak di bagian pinggang. Pelipis mata kanannya juga terluka.
Baca juga: Kontak Senjata dengan KKB Kembali Terjadi di Distrik Suru-suru, Satu Prajurit TNI Alami Luka Tembak
Polisi membuat klaim bahwa peluru itu tanpa sengaja mengarah ke perempuan berusia sekitar 20-an tahun tersebut. Agustina dituduh berada di lokasi kontak tembak antara aparat dan TPNPB.
Namun sejumlah pihak di Intan Jaya menyebut hal yang berlawanan, bahwa tak ada peristiwa saling tembak saat peluru masuk ke tubuh Agustina.
Setelah tertembak, sejumlah warga lokal bersama pengurus gereja menyelamatkan Agustina. Tubuhnya dibopong di atas tandu kayu sederhana dari pinggir Kali Dogabu, melewati perbukitan, menuju puskesmas.
Baca juga: Kronologi Penangkapan Pentolan KKB Temianus Magayang
Pada hari yang sama, pemerintah lokal dan pimpinan kepolisian serta militer mengabarkan kepada pihak gereja bahwa masyarakat bisa kembali ke rumah. Namun tidak semua warga langsung meninggalkan pengungsian.
Meski begitu, Kepala Polres Intan Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Sultan meminta BBC News Indonesia tidak menggunakan istilah 'mengungsi' untuk mendeskripsikan rentetan peristiwa ini.
Sandi juga mengatakan hal yang sama saat warga sipil berbondong-bondong menuju gereja saat eskalasi kontak tembak di Intan Jaya meningkat, Februari lalu.
Baca juga: Rekam Jejak Tokoh KKB Temianus Magayang, Terlibat Pembunuhan Staf KPU Yahukimo hingga Prajurit TNI
"Mereka tidak mengungsi, tapi menyelamatkan diri," ujar Sandi.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata 'mengungsi' bermakna menyelamatkan diri ke tempat yang dirasa aman.
Bagaimanapun, pertanyaan utama yang muncul dalam hari-hari terakhir, apakah saat ini warga sipil sudah terbebas dari potensi tertembak atau menjadi korban berikutnya dari konflik bersenjata di Intan Jaya?
Dan bagaimana aparat membedakan siapa kombatan dan siapa warga sipil?
"Mereka yang membawa senjata adalah musuh, yang tidak membawa senjata berarti masyarakat," kata Kepala Polres Intan Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Sultan.
Saat Melpianus tertembak, tak ada satupun anggota keluarganya yang menyimpan senjata. Agustina Ondou juga tak memiliki senjata. Begitu pula Pastor Yeskiel yang nyaris tertembak di halaman gereja.
Baca juga: Temianus Magayang, Tokoh KKB di Yahukimo Ditangkap Satgas Nemangkawi
Dalam laporan resmi kepada Komnas HAM, orang nomor satu di kabupaten itu, Bupati Spey Yan Bidana, menuduh sejumlah lawan politiknya sebagai dalang di balik amuk tersebut.
Padahal milisi pro-kemerdekaan lebih dulu menyatakan bertanggung jawab atas dua peristiwa itu.
Dan seperti pada huru-hara sebelumnya di Papua, aparat juga menuding TPNPB sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Baca juga: Usai Serangan KKB, TNI Tambah 50 Personel Perkuat Koramil Suru-suru di Yahukimo
Benarkah ada pihak ketiga yang melibatkan diri dalam pertikaian bersenjata di Pegunungan Bintang?
Berkas laporan bupati yang didapatkan BBC News Indonesia terdiri dari 25 halaman. Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengonfirmasi lembaganya menerima dokumen itu.
Laporan itu memuat keterangan orang-orang yang dianggap mengetahui secara langsung peristiwa kekerasan tersebut. Mereka adalah Kepala Distrik Kiwirok, seorang pegawai imigrasi, serta dua perawat, masing-masing bernama Patra dan Sem Taplo.
Keterangan Bupati Spey Bidana juga dimasukkan dalam berkas laporan tersebut. Dia menuduh huru-hara di Kiwirok dirancang dalam sebuah rapat di ibu kota kabupaten, Oksibil.
Rapat itu, menurut kesaksian Spey, diikuti sejumlah politikus dan mantan pejabat lokal. Dia menuding para peserta rapat sepakat untuk membakar seluruh fasilitas publik di Kiwirok, yang dibangun pada era kepemimpinan sebelumnya.
Tujuan kesepakatan itu, tulis Spey dalam keterangannya,"agar membuat bupati pusing".
Dia juga membuat klaim bahwa huru-hara itu sengaja dimulai di Kiwirok — kampung asalnya.
Spey menuding, salah satu pemicu kesepakatan ini adalah kemarahan sejumlah pihak terhadap kebijakannya, terutama keputusannya mencopot 42 pejabat Februari lalu, tepat lima hari setelah dia dilantik menjadi bupati.
Baca juga: Distrik Kiwirok Diklaim Aman dari KKB, 282 Pengungsi di Oksibil Papua Akan Segera Dipulangkan
"Aksi di Kiwirok melibatkan mereka yang tidak mendapatkan jabatan kepala distrik, kepala puskesmas, dan jabatan kepala kampung," sebut Spey dalam laporan itu.
"Pemicunya adalah dendam politik saja," tulisnya.
Spey menyebut huru-hara di Kiwirok didahului pembakaran alat berat milik PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. pada 8 September.
Perusahaan milik negara itu mengerjakan jalan trans Papua di Pegunungan Bintang.
"Yang fasilitasi makan, minum, dan bensin untuk pembakaran itu diduga kuat adalah Yohanes Sitokdana," tuduh Spey.
Baca juga: Trauma, Nakes Korban KKB di Kiwirok Minta Dipulangkan ke Kampung Halaman
Yohanes adalah Ketua Komisi C DPRD Pegunungan Bintang dari Partai Demokrat. Dia menyangkal tuduhan itu.