Sumanto menuturkan, akhir Oktober lalu Suprihatin mulai sering mengeluhkan sakit.
Hingga awal September, istrinya terpaksa harus meninggalkan pekerjaan dan dirawat di rumah sakit di Taiwan.
Dia sempat keluar rumah sakit ketika sudah membaik, namun seminggu kemudian Suprihatin kembali dilarikan ke rumah sakit.
Kata Sumanto, ketika itu Suprihatin sudah setuju untuk segera memroses kepulangannya begitu kondisi kesehatan memungkinkan.
Dalam penantian kabar kondisi kesehatan istrinya, Sumanto menerima telepon dari pihak perusahaan jasa pemberangkatan TKI pada 17 Septembe 2021r.
Suprihatin telah meninggal di rumah sakit karena serangan jantung dan tekanan darah tinggi.
"Saya seperti tersambar petir, tak menyangka dia pergi secepat ini," tutur Sumanto.
Baca juga: Terima Bansos Selama Pandemi, 9 PNS Pemkot Blitar Tanda Tangani Surat Penyataan Keluar DTKS
Kepedihan yang dia rasakan semakin bertambah saat tidak ada kejelasan kapan jasad Suprihatin bisa dipulangkan ke Indonesia.
Bermacam-macam kendala dan alasan disampaikan pihak agensi dan perwakilan pemerintah Indonesia terkait upaya pemulangan jenazah Suprihatin.
Mulai dari alasan tidak adanya penerbangan karena pandemi Covid-19, jadwal penerbangan pesawat kargo yang belum ada, hingga masalah biaya pemulangan jenazah istrinya.
Selama dua bulan penantian itu, hampir setiap malam sang anak, Salsabila terbangun dari tidurnya di tengah malam dan menangis.
Kata Sumanto, Salsabila sering bermimpi bertemu ibunya.
Setelah dua bulan sejak kematian Suprihatin, kepastian mulai dia dapatkan.
Pihak agensi yang berkantor di Malang, sempat meminta biaya ambulans dari Jakarta ke Blitar.
Namun permintaan itu segera dibatalkan setelah Sumanto melaporkan masalah itu ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat.
Baca juga: 6 PNS Pemkot Blitar Terima Bansos Selama Pandemi, Ini Penjelasan Kadinsos