"Dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan persfektif perlindungan anak,’’urainya.
Dan usulan ketiga, datang dari perwakilan Inspektorat Tarakan yang menyatakan bahwa akar masalahnya adalah di keputusan Kementerian Agama yang memasukan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen.
Inspektorat mengusulkan agar Kemendikbudristek dan KPAI bersurat kepada Kementerian Agama untuk mencabut keputusan tersebut.
Jika ingin Saksi Yehuwa diakomodir, maka diminta Kemendikbud dan KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi Negara yang ke-7.
Padahal, kata Retno, semua usulan tersebut, jelas bukan kewenangan Kemendikbud maupun KPAI.
Retno menegaskan, usulan inipun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak adik yang tidak naik kelas 3 kali, sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.
‘’Apakah jika ketentuan memasukkan Saksi Yehuwa dalam pendidikan Agama Kristen tidak diubah oleh Kementerian Agama, maka ketiga kakak beradik ini akan terus tidak naik kelas lantaran nilai pendidikan agamanya akan selalu bermasalah?" kata Retno.
Apakah diskriminasi atas dasar agama minoritas ini akan dilanggengkan terus di negeri Pancasila yang sangat majemuk ini? Padahal, anak-anak belum bisa memilih agama baginya, anak pasti mengikuti agama orangtuanya? Sejatinya para pihak dalam mengambil keputusan harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi ketiganya anak demi masa depan mereka yang masih panjang,’’kata Retno lagi.
Sebelumnya diberitakan, Tim KPAI bersama Itjen KemendibudRistek melakukan kunjungan ke Kota Tarakan untuk mencoba penyelesaian kasus dugaan intoleran sekolah SDN 051 Tarakan terhadap 3 muridnya yang tidak naik kelas selama 3 tahun berturut turut akibat agama yang mereka anut. Ketiganya penganut Saksi Yehuwa.
Ketiga kakak adik tersebut bernama M (14) kelas 5 SD, Y (13) kelas 4 SD, dan YT (11) kelas 2 SD.
Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019, lalu tahun ajaran 2019/2020, dan tahun ajaran 2020/2021.
Menurut informasi yang diterima tim pemantau dari pihak keluarga dan kuasa hukum, ketiga anak korban pindah agama pada tahun 2018 dari Kristen Protestan ke Saksi Yehuwa.
Secara kebetulan, tidak naik kelas pertama adalah pada tahun ajaran 2018/2019, ketiga anak sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan lamanya.
Alasan tidak naik pertama adalah absensi tidak memenuhi syarat, ada sekitar 90 hari, ketiga anak dianggap tidak hadir tanpa keterangan, padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama 3 bulan.
“Keputusan Pengadilan TUN memenangkan gugatan atas nama ketiga anak tersebut, keputusan PTUN dalam kasus tidak naik kelas yang pertama kali ini sudah inkracht,’’ujar Retno.