Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

"Children of Heaven" dari Baubau, Sulawesi Tenggara

Kompas.com - 24/11/2021, 21:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

SIAPA sangka adegan tukar menukar sepatu untuk bersekolah tidak hanya ada di film “Children of Heaven” yang pernah sohor di berbagai belahan dunia. Kisah yang mirip di film itu terjadi juga di Tanah Air, tepatnya di Baubau, Sulawesi Tenggara.

"Children of Heaven", besutan sutradara Majid Majidi, menyabet penghargaan dari Montreal World Festival dan Warsawa International Film tahun 1999 dan nominasi Oscar di tahun yang sama.

Film ini berkisah tentang kakak beradik Ali dan Zahra yang harus tukar menukar sepatu untuk bersekolah karena berasal keluarga miskin di Iran. Sepatu milik Zahra dihilangkan Ali saat Ali diminta orangtuanya berutang sayuran di pasar.

Sebetulnya sepatu Zahra sudah butut dan jebol. Mengingat orangtuanya belum memiliki uang maka sepatu ini diperbaiki di tukang sepatu. Ali diminta ke tukang sepatu untuk membenarkan sepatu itu. Namun, ia malah menghilangkan sepatu itu. 

Seorang pemulung memungut sepatu itu tanpa sepengetahuan Ali karena dikira dibuang oleh pemiliknya. Ali mencari sepatu itu ke segala penjuru pasar namun tak ketemu. Zahra, sang adik, sangat sedih karena itu adalah sepatu satu-satunya untuk ke sekolah.

Ali tidak tega melihat adiknya menangis. Ia merasa sangat bersalah. Ali pun memutuskan meminjamkan sepatunya untuk dipakai Zahra ke sekolah. Padahal, Ali juga hanya punya sepasang sepatu, itu pun sudah koyak dan jelek.

Kakak beradik ini akhirnya harus saling bergantian memakai sepatu tersebut. Zahra yang masuk sekolah di pagi hari harus berlari cepat pulang ke rumah agar Ali yang masuk siang dapat memakai sepatu yang sama. 

Selisih waktu sekolah antara Zahra dan Ali tidak terlalu lama sehingga mereka harus sama-sama berlari. Persis seperti lomba lari estafet.

Ali sering terlambat tiba di sekolah dan kerap dimarahi guru kelasnya. Padahal Ali sudah berlari sangat cepat.

Suatu hari ada lomba lari jarak jauh di sekolah. Ali ikut dan berharap juara tiga. Kenapa ingin juara ketiga? Galibnya peserta lomba ingin mendapat juara pertama.

Alasanya, hadiah juara ketiga adalah sepasang sepatu olahraga.

Tetapi sayangnya, Ali malah jadi juara pertama. Bukannya senang, Ali justru sedih karena tidak mampu menepati janjinya kepada Zahra untuk memberikan sepasang sepatu. 

Children of heaven dari Baubau

Di Baubau, Sulawesi Tenggara ada kisah serupa. 

Nadia Blink (11) yang masuk sekolah di siang hari harus sabar menunggu kedatangan adiknya Rizky Blink (9) yang sekolah pagi di SD Negeri 3 Wamoe, Jalan Erlangga, Batupora.

Agar tidak terlambat masuk sekolah, Nadia harus datang ke sekolah lebih awal agar bisa cepat bergantian memakai sepatu yang dikenakan adiknya.

Kedekatan kakak beradik, Nadia dan Rizky, tidak hanya urusan sepatu tapi juga soal hidup sehari-hari. Mereka sangat mengerti kesulitan ekonomi yang dialami orangtuanya.

Baca: Kisah Pilu Kakak Adik Bergantian Pakai Sepatu di Sekolah, Sang Kakak Rela Menunggu

Kisah pilu layaknya cerita di film layar lebar sebetulnnya tidak boleh terjadi lagi di republik ini. Program-program sosial dari pemerintah daerah dan provinsi bahkan dari kementerian mengapa tidak pernah menyasar kepada keluarga-keluarga miskin seperti keluarga Nadia dan Rizky?

Ke mana pengurus tukun tetangga, rukun warga, desa, atau kelurahan? Apakah menunggu kemarahan Menteri Sosial Tri Rismaharini?

Sebelum aparat dinas sosial setempat atau kelurahan bertindak, Kapolres Baubau AKBP Rio Tangkari sigap bergerak lebih dulu.

Tidak hanya sepasang sepatu untuk Nadia dan Rizky, Rio Tangkari juga memberi peralatan sekolah serta seragam.

Spirit Aditya Candra dari Sidoarjo

Berikutnya ini adalah kisah inspiratif dari Sidoarjo, Jawa Timur. Aditya Candra Glori Semesta, pelajar SMK kelas tiga, diam-diam menjadi pemulung tanpa sepengetahuan keluarganya. 

Usaha catering ibunya menurun tajam dihajar pandemi. Aditya tidak ingin membantu pemasukan keluarga dengan memulung. 

Aditya sengaja tidak memberi tahu keluarga. Ia khawatir keluarganya malu dan tidak mengizinkannya menjadi pemulung. 

Sepulang sekolah, dengan sepedanya, Adit menelusuri jalanan di Sidoarjo untuk mencari botol bekas. Jarak tempuh 10 kilometer dari rumah ke sekolah, sekalian dimanfaatkan Adit untuk mencari botol bekas.

Baca: Kisah Siswa SMK Diam-diam Memulung hingga Tepergok Orangtuanya di Jalan, Begini Reaksi Ibunya

Kebosanan Aditya saat sekolah daring dilampiaskan dengan mencari botol plastik bekas. Anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Ainur Rofik dan Yuliani ini bisa mendapatkan uang Rp 25 hingga Rp 32 ribu per minggu. Uang ini digunakan Aditya untuk keperluan sekolah.

Suatu hari, saat sedang memulung botol bekas di bawah fly over, ia tepergok oleh ibunya. Untungnya ibunya tidak marah meskipun sangat kaget mengetahui anaknya memulung.

Bagi Aditya, mencari kegiatan positif sembari membantu meringankan beban orang tua adalah kewajiban. Apalagi, cita-citanya ingin menebus ijazah SMP yang masih ditahan sekolah. Ia juga ingin memiliki laptop.

Ceritanya Aditya ini viral. Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo akhirnya membantu pengurusan keluarnya ijazah SMP milik Adit yang sempat tertahan dua tahun.

Keluarga menjadi pengobar semangat

Saya yakin di luar sana masih ada banyak "Nadia Blink, Rizky Blink, dan Aditya" yang lain. Beruntung jika masih punya orangtua.  

Berdasarkan pendataan UNICEF dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), hingga per 2 November 2021 terdapat 29.544 anak di seluruh Indonesia yang menjadi yatim, piatu, maupun yatim piatu selama pandemi Covid-19.

Jika dirinci, ada 16 ribu lebih anak yatim, 10 ribu lebih anak piatu, dan 1.399 anak yatim piatu. Baca: Hampir 30.000 Anak di Indonesia Kehilangan Orangtua akibat Covid-19

Covid tidak saja membuat semua aspek perekonomian terganggu tetapi juga mengubah nasib kehidupan keluarga.

Jika mengandalkan uluran tangan pemerintah pusat pasti lama. Ada urusan birokrasi yang berbelit dan keterbatasan anggaran. 

Oleh karena itu, partisipasi masyarakat atau kelompok tetangga terdekat perlu digalakkan.  Jika ada 10 keluarga saja di satu rukun tetangga yang bergantian membantu anak-anak yang butuh pertolongan, kita semua yakin kejadian di Baubau dan Sidoarjo tidak akan terjadi.

Tirulah Banyuwangi dan Kendal

Pemerintah daerah (Pemda) juga tidak boleh lepas tangan. Tidak ada salahnya mencontoh atau memodifikasi program-program dari pemda lain yang berhasil mengatasi persoalan anak-anak di masa pandemi.

Kabupaten Banyuwangi di era Bupati Ipuk Fiestiandani sekarang sedang giat menggalakkan program Banyuwangi Ayo Mengajar (BAM) untuk mengatasi kesulitan pelajar-pelajar sekolah di masa pandemi.

Sebanyak 400 relawan yang berasal dari mahasiswa tingkat akhir diterjunkan ke berbagai desa di pelosok Banyuwangi.

Selain mengajar anak-anak sekolah dan memberi motivasi masyarakat, relawan ini mendapat honorarium dari Pemda Banyuwangi. Mereka harus tinggal di desa selama 6 bulan membaur dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Saya kebetulan pernah mengikuti kegiatan relawan di sebuah desa yang belum mendapat aliran listrik, yang berada di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri.

BAM adalah sebuah program pemberdayaan yang mengasah solidaritas dan jiwa pengabdian mahasiswa. 

Dampaknya bukan hanya pada nilai akademis para anak yang diajar, tapi yang lebih penting adalah mindset mereka. Anak-anak sekolah yang diajar para relawan ini jadi punya keinginan menjadi mahasiswa.

Mindset ini memutus persoalan pernikahan dini dan putus sekolah yang dulu merupakan hal biasa di pelosok Kabupaten Banyuwangi.

Relawan pun semakin mencintai dan membanggakan daerahnya.

Kabupaten Banyuwangi juga punya program lain. Namanya Program Siswa Asuh Sebaya (SAS). Program ini berhasil memupuk kepedulian anak-anak dari keluarga berkecukupan untuk membantu serela dan semampunya teman-teman satu sekolah yang butuh bantuan finansial.

Setiap hari, bendahara kelas, baik di tingkat SD, SMP, dan SMA mengumpulkan sumbangan tanpa paksaan. Ada yang Rp 500, ada juga yang Rp 5 ribu. Uang yang terkumpul diserahkan ke sekolah.

Penyaluran bantuan dilakukan oleh Dewan Siswa berdasarkan arahan guru-guru di sekolah itu. 

Bentuk bantuan ada yang berupa uang jajan harian, sarapan, perlengkapan sekolah bahkan sepeda.

Laporan keuangan pengumpulan sumbangan transparan dan akuntabel. Program ini mengajarkan toleransi, solidaritas, kejujuran, dan pertanggunjawaban sejak usia dini.

Program serupa juga bergulir di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, di bawah kepemimpinan Bupati Dico Ganinduto. Pemda Kendal mengupayakan bantuan sosial bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Pada 2021, sekitar 744 anak berkebutuhan khusus di Kendal mendapat bantuan dari Pemda.

Kita butuh pemimpin-pemimpin daerah yang peka akan kondisi masyarakat. Kisah sepatu di Baubau dan siswa pemulung di Sidoarjo seharusnya tak perlu terjadi. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com