Hidup itu ibarat permainan roller coaster, meliuk naik dan menghujam turun. Kadang berada di puncak, namun sering bertengger di dasar.
Hidup itu ibarat lakon kehidupan. Ada saat kita pentas di atas panggung; ada saat kita duduk manis jadi penonton.
Dari berbagai lakon kehidupan yang pernah saya jalani, menjadi wartawan atau kuli tinta adalah pekerjaan intelektual yang tidak bisa menjadikan saya kaya secara materi dalam sekejap.
Kuli tinta adalah pekerjaan terhormat, merangkai fakta dengan narasi yang bernas serta menghiasi cerita dengan foto yang menarik.
Tidak lupa mengulik data-data pendukung agar kisah menjadi akurat. Berkat pekerjaan ini, semua lapisan masyarakat bisa menjadi narasumber berita.
Profesi kuli tinta tidak bisa dianggap sepele, butuh konsistensi untuk menjalaninya. Berkomitmen pada keadilan dan nurani yang jujur.
Tidak heran, bagi wartawan senior atau mantan wartawan kebiasan untuk melakukan cek, cross-cek dan triple-cek tak pernah bisa hilang. Meski tidak lagi berkecimpung di dunia jurnalistik, naluri untuk mengungkap fakta yang samar menjadi kegelisaan sepanjang waktu.
Beberapa wartawan yang menjadi sahabat saya, kerap menanyakan pilihan pekerjaan usai tidak lagi berkiprah di dunia jurnalistik.
Mereka selalu menjadikan saya sebagai rujukan karena sejak 2004 saya memilih jalur pendidikan sebagai ladang pengabdian usai tidak lagi menjadi kuli tinta.
Pilihan untuk melanjutkan jenjang pendidikan pascasarjana di perguruan tinggi selalu saya rekomendasikan agar para mantan wartawan punya pilihan mengingat persyaratan mengajar untuk mahasiswa S-1 adalah pengajar dengan kualifikasi akademis berjenjang S-2.
Kita juga bangga jika ada sahabat kita usai tidak lagi berkecimpung di dunia kewartawanan memilih jalur kewirausahaan, terpilih sebagai duta besar atau komisaris BUMN, menjadi politisi bahkan ikut konstestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan menang.
Strategi dan ilmu kemenangan di Pilkada, saya yakin berhasil dia timba saat menjadi kuli tinta.
Seorang sahabat saya yang dulu adalah koresponden salah satu stasiun televisi swasta, kini menjadi kepala daerah untuk masa jabatannya yang ketiga di sebuah kabupaten di Sulawesi.
Periode pertama menjadi wakil bupati. Lalu "tiba-tiba" naik jadi bupati karena pejabat sebelumnya terbelit rasuah. Sekarang adalah jabatan bupati di periode keduanya karena di dua Pilkada terakhir ia selalu menang.
Perjalanan hidup yang dijalani Abdul Wahid tergolong komplet. Karier pertamanya adalah wartawan harian Banjarmasin Post (1982-1999). Setelah itu, ia beralih menjadi politisi dan terpilih sebagai anggota DPRD Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, dari Partai Golkar.
Kariernya sebagai anggota parlemen terentang selama dua periode hingga menduduki kursi Ketua DPRD HSU (2009-2012).
Lulusan Pascarjana Universitas Brawijaya dan Universitas Narotama ini lantas maju di Pilkada HSU dan menang dua kali Pilkada. Jadilah ia bupati HSU.
Namun sayang, karier politiknya tidak berujung manis. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan jual beli jabatan, suap, dan gratifikasi (Kompas.com, 18/11/2021).
Baca juga: Profil Bupati HSU Abdul Wahid, Eks Wartawan yang Jadi Tersangka Suap dan Gratifikasi
Dalam konstruksi sangkaan KPK, Abdul Wahid "menjual" jabatan pelaksana tugas kepala dinas pekerjaan umum, penataan ruang dan pertanahan (Plt Kadis PUPR) kepada anak buahnya.
Jabatan itu dianggap “basah” oleh Abdul Wahid. Siapapun yang menduduki posisi tersebut harus memberikan “setoran”.