"Padahal kami di sini sangat memegang teguh adatnya. Jadi adat itu menjadi sangat penting, karena tanpa adat, kami tidak akan bisa lestari sampai hari ini," kata Chandra.
Baca juga: Akan Dibangun Jembatan Kaca di Bromo, Begini Rencana Pemerintah
Ia menuding pengembangan wisata itu tidak memiliki azas manfaat, terutama bagi warga suku Tengger dan keuntungan bagi pemerintah desa di sana.
Sebab, klaim meningkatkan ekonomi yang digaungkan pemerintah sangat berbeda dengan memakmurkan desa.
Justru, kata Chandra, pembangunan proyek wisata itu mengancam keberlangsungan hidup warga suku Tengger di masa depan.
"Iya, sisi keharmonisan warga suku Tengger akan terancam (di masa depan). Ini kan cuma akal-akalan saja sebenarnya," kata dia.
Ketimbang mengembangkan pariwisata di kawasan TNBTS, ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mendorong peningkatan pendapan asli desa (PADes) dari adanya pariwisata di kawasan tersebut.
Sebab, meskipun masyarakat suku Tengger makmur, tetapi pendapatan asli desanya masih kecil karena desa tidak mendapatkan apa-apa dari pariwisata karena hanya mengandalkan dana desa.
Baca juga: Bantuan Rp 25,99 Miliar Dikucurkan untuk Bedah 430 Rumah di KSPN Bromo-Tengger-Semeru
Selama ini, kata Chandra, pengelola taman nasional memasang pos jalur di blok Jemplang menuju Gunung Bromo.
Setiap orang yang akan masuk ke jalur pos itu diharuskan membayar biaya tiket masuk namun tidak ada kontribusi yang masuk ke desa.
"Orang masuk ke kawasan TNBTS kan harus membeli tiket. Sedangkan kontribusi tiket ke desa itu apa, tidak ada. Uang itu tidak masuk sama sekali ke desa," kata dia.
Jika desa mendapatkan tambahan PADes, desa-desa yang menjadi tempat penghidupan masyarakat suku Tengger bisa menjadi desa mandiri dan tak perlu melulu bergantung dari desa.
"Sampai kapan desa ini akan ketergantungan dengan dana desa? Keinginan kami, pak kepala desa, tokoh-tokoh adat, inginnya desa itu mandiri. Kita mau bangun apa pun ya terserah desa. Karena desa ini sebenarnya secara de facto adalah desa adat," kata Chandra.
Namun, karena desa adat belum teregistrasi atau tercatat di Indonesia, desa-desa suku Tengger masih menjadi desa administrasi sampai saat ini.
Baca juga: Mengenal Suku Tengger di Kawasan Bromo, Peradaban sejak Zaman Majapahit
Dengan status desa administrasi, ia menilai untuk bisa menjadi mandiri akan sulit.
"Karena kalau desa administrasi itu kan dalam kontrol pemerintah kabupaten dan provinsi," ujar dia.
Masyarakat suku Tengger masih berharap suatu saat desa-desa suku Tengger bisa menjadi desa otonom, meski itu suatu hal yang musykil.
Posisi desa-desa yang berada dalam kawasan TNBTS itu menjadi cukup rumit bagi warga suku Tengger yang telah banyak kehilangan hak-haknya.
"Yang diinginkan masyarakat Tengger itu desa otonom. Ini menjadi rumit karena posisi desa-desa suku Tengger berada dalam kawasan taman nasional," ucapnya.
"Jadi hak-hak masyarakat banyak yang tercerabut oleh taman nasional. Padahal pemilik wilayah itu adalah masyarakat desa adat, pemerintah desa," imbuh Chandra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.