Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Warga Suku Tengger soal Proyek Wisata "Bali Baru" di Kawasan TNBTS: Kami Risih dan Terganggu

Kompas.com - 19/11/2021, 11:45 WIB
Ghinan Salman,
Priska Sari Pratiwi

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com -  Rencana pengembangan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadi salah satu "Bali Baru" masih menjadi polemik.

Chandra Irawandi, salah satu perwakilan warga suku Tenger yang juga tim dokumentasi kearifan lokal Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengaku menolak proyek wisata "Bali Baru" di TNBTS.

Terlebih lagi, sampai saat ini tidak pernah ada sosialisasi secara lengkap kepada masyarakat suku Tengger soal pengembangan wisata di kawasan TNBTS.

Baca juga: Pemprov Jatim Pastikan Proyek Wisata Bali Baru di Kawasan TNBTS Tak Ganggu Lahan Warga Tengger

"Jadi kami cuma diiming-imingi, seperti dibuatkan lahan parkir, yang nantinya bisa dikelola masyarakat setempat. Itu dengan alasan meningkatkan ekonomi masyarakat Tengger," kata Chandra kepada Kompas.com, Jumat (19/11/2021).

Menurut Chandra, iming-iming tersebut tak masuk akal. Sebab dengan kelestarian alam di sana, masyarakat suku Tengger dinilai sudah cukup makmur. 

Bahkan, pendapatan per hari masyarakat Tengger rata-rata mencapai Rp 500.000 yang berasal dari aktivitas bertani.

"Jadi kalau pemerintah bilang mau meningkatkan ekonomi masyarakat Tengger, itu masyarakat yang mana?" ucap dia.

Ia menambahkan, sumber daya alam yang berada di desa-desa suku Tengger itu sudah cukup bagus tanpa perlu ada pembangunan.

Namun, jika pemerintah berpikir untuk mencari keuntungan, hal itu akan menjadi berbeda.

Baca juga: Walhi Jatim Kritik Proyek Wisata di Kawasan Bromo Tengger Semeru, Tempati Tanah Suci dan Rawan Bencana

Dengan pengembangan kawasan TNBTS, pemerintah selalu mengatakan akan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat suku Tengger.

Ia menilai, bila masyarakat mengambil peluang untuk bekerja sebagai karyawan, pendapatan mereka justru akan menurun.

Bahkan, sekali pun tidak ada parisiwisata di sana, Chandra menilai masyarakat suku Tengger tetap bisa hidup makmur.

"Kalau masyarakat bekerja di sana, UMR kabupaten Malang cuma berapa sih. Mereka jadi tukang ojek ke kebun, setengah hari mereka sudah dapat Rp 300.000. Tanpa pariwisata pun masyarakat di sini bisa hidup dan makmur," ucap Chandra.

"Karena pembangunan ini, kalau bicara keuntungan untuk masyarakat sendiri nggak ada. Tanpa ada taman nasional pun, kehidupan masyarakat suku Tengger sudah lestari," imbuh dia.

Risih dan terganggu

Masyarakat suku Tengger justru merasa risih dan terganggu dengan rencana pengembangan kawasan TNBTS tersebut.

Sebab, pemerintah selalu mengabaikan zona-zona religi atau tempat yang disakralkan untuk dibangun fasilitas wisata.

Apalagi, pengelola taman nasional sebagai pengakses kearifan lokal di kawasan TNBTS yang dihuni warga suku Tengger tidak pernah berbicara secara langsung kepada masyarakat setempat.

"Kami menjadi risih dan merasa terganggu. Kami tidak terima karena kawasan itu sudah disakralkan oleh masyarakat selama ratusan tahun. Tahu-tahu, pengelola taman nasional, dengan investornya, datang membangun wisata di situ," ucap Chandra.

Baca juga: Kasus Aktif Covid-19 di Jatim Merangkak Naik, Satgas Klaim Masih Terkendali

Dia juga mempertanyakan klaim pemerintah yang mengatakan selalu melibatkan tokoh setempat setiap kali membahas perencanaan pembangunan proyek wisata "Bali Baru".

Menurut dia, warga yang dilibatkan hanya orang yang bekerja untuk taman nasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com