YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal (DIY) dikenal sebagai barometer sektor pendidikan di Indonesia.
Tetapi, dalam praktiknya pendidikan di DIY masih menemui berbagai permasalahan salah satunya adalah pungutan liar (pungli).
Bahkan, saat pandemi Covid-19, pungli dengan dalih pembelian seragam masih ditemukan di beberapa sekolah di DIY.
Tak hanya berdalih seragam, sekolah juga menarik uang pungutan ke orangtua siswa dengan berbagai alasan seperti peningkatan mutu hingga pembelian genset untuk sekolah.
Baca juga: 1100-an Ijazah Siswa SMP, SMA, dan SMK Negeri di Yogya Ditahan, Diduga Ada Pungli di Sekolah
Padahal untuk sekolah negeri, sekolah tidak diperkenankan menarik pungutan bagi orangtua siswa. Sekolah hanya diperbolehkan menarik sumbangan kepada orangtua siswa, dimana sumbangan ini tidak ditentukan nominalnya dan tidak ditentukan batas waktunya.
Seperti yang dialami oleh orangtua murid berinisial W. Dia mengatakan, anak pertamanya yang bersekolah di salah satu SMP Negeri di Sleman dimintai sumbangan dengan ditentukan angka nominalnya serta waktu pembayarannya.
Secara rinci, W menceritakan, sebelum pandemi Covid-19, yakni pada 2020 awal dirinya mendapatkan selebaran dari pihak sekolah yang di dalamnya meminta sumbangan untuk membeli sebuah genset.
Sekolah berdalih bahwa pembelian genset tidak tercover pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Jadi orangtua siswa diminta menyumbang untuk beli genset, saya lupa harganya. Per anak kalau nggak salah Rp 2 jutaan, dicicil 3 kali. Nah itu setiap siswa seangkatan semua padahal satu kelas ada 34, dikali 2 juta,” katanya, Rabu (10/11/2021).
Pada saat itu sekolah tidak mewajibkan peserta didik untuk langsung membayar iuran tersebut. Tetapi dengan memberikan opsi cicilan kepada orangtua murid.
“Emang sekolah tidak berani mewajibkan, tetapi ya dicicil bisa,” imbuh dia.
Baca juga: Pimpin Rapat dengan Forkopimda di Kaltim, Wapres Ingatkan soal Pungli
Menurut W, saat itu tidak ada orangtua murid yang memprotes atau melaporkan adanya penarikan sumbangan ini kepada pihak Disdikpora DIY.
W khawatir, jika nanti dirinya melaporkan hal ini kepada Disdikpora, anaknya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti perundungan.
“Pada saat itu orangtua tidak ada yang menolak, kalau saya berani menolak tetapi anak saya gimana nanti. Biasanya terjadi pembully-an nilainya dipengaruhi, kadang-kadang secara hubungan dicing (ditandai), itu kejadian di sekolah negeri,” jelas dia.
Saat memasuki masa pandemi Covid-19 sekolah tidak berani menarik pungutan kembali padahal pada saat itu dirinya masih kurang Rp 800 ribu.