Penghasilan tetap kades, sekretaris desa, dan perangkat desa dianggarkan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang bersumber dari alokasi dana desa (ADD).
Kades juga menerima penghasilan lain selain gaji tetap yang datang dari pengelolaan tanah desa atau bengkok. Jika tanah bengkok yang dimiliki luas dan berlokasi strategis, pengelolaan komersil akan mendatangkan pendapatan yang lumayan.
Beberapa tahun terakhir, pamor menjadi kepala desa kian bergairah diperebutkan sejak ada alokasi dana desa dari pemerintah pusat.
ADD dari pemerintah pusat meningkat setiap tahun. Pada 2018 setiap desa mendapat rata-rata alokasi dana desa sebesar Rp 800,4 juta. Pada 2019 meningkat menjadi Rp 933,9 juta. Sementara, pada 2020 kembali terkatrol menjadi Rp 960,6 juta (sumber: Bpkp.go.id).
Masa jabatan kepala adalah enam tahun dengan maksimal bisa menjabat selama tiga periode. Artinya, jika dipercaya oleh warga karena berhasil memimpin desa dengan aneka program pembangunan dan pemberdayaan potensi desa maka seorang Kades dimungkinkan menjabat selama 18 tahun.
Pilkades juga mendapat perhatian serius dari partai politik. Sebab, Pilkades merupakan sarana efektif untuk menjadi pijakan bagi pemilu serentak mendatang.
Setiap kepala desa terpilih memiliki peran signifikan bagi partai politik dalam menancapkan pengaruh dan investasi politik.
Keramaian Pilkades tidak saja menarik infiltrasi dari partai politik, tapi juga politisi perseorangan yang akan maju sebagai anggota legeslatif. Desa penting untuk mengamankan basis dukungan pada pemilu legeslatif mendatang.
Dukungan terhadap cakades di Pilkades tidak sekadar dukungan kosong, tapi sarat dengan dukungan logistik.
Belum matangnya demokrasi di tingkat desa bisa tergambarkan dari hasil Pilkades Desa Guwo, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Sulhan, Kades selama dua periode, merasa dikerjai dengan kampanye hitram yang berakhir dengan kekalahannya di Pilkades. Ia kecewa karena kerap dituding korupsi.
Buntut dari kekecewaannya, sekitar 100 tiang beton untuk lampu penerangan jalan yang dibangun semasa kepemimpinannya sebagai kades dibongkar paksa.
Masih ada 25 tiang beton lagi yang akan dibongkarnya. Usai kalah, ia tak merasa perlu memikirkan fasilitas penerangan warga yang pernah dipimpinnya.
Baca juga: Kisah Mantan Kades yang Cabuti Puluhan Tiang Penerangan Jalan Setelah Tak Lagi Menjabat
Di Desa Sukamanah, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Banten, ada juga Cakades yang kalah di Pilkades dan berulah. Ia menutup jalan desa dengan tembok serta menumpuk batu dan kayu di tiga lokasi di desa tersebut. Akibatnya warga kesulitan untuk keluar masuk desa (Sindonews.com, 1 November 2021).
Sementara di Desa Selebung Ketanga, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggaran Barat, Cakades yang kalah di Pilkades memblokir jalan warga. Ia meminta kembali tanahnya yang telanjur sudah dihibahkan saat kampanye (Jpnn.com, 31 Juli 2021).
Itu baru segelintir kisah yang terungkap. Menurut data Badan Pusat Statistik 2019, ada 83.820 desa di seluruh Indonesia. Jika ada 100 saja kades marah seperti kasus di Pati, Lebak, atau Lombok Timur, entah berapa besar dampak kekecewaan yang ditimbulkan Cakades.