Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Fenomena YouTuber Mengubah Pandangan terhadap Pekerjaan Real?

Kompas.com - 27/10/2021, 18:00 WIB
Reni Susanti,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.comYouTube hadir pada tahun 2005. Sejak saat itu, platform ini mulai bertumbuh seiring dengan masyarakat yang aktif membuat konten dan mengunggahnya dalam bentuk video.

Meski pertumbuhannya cukup baik, saat itu belum banyak masyarakat di Indonesia yang ingin menjadi YouTuber.

Namun, ada beberapa orang tetap konsisten untuk menggunakan platform ini. Salah satunya Raditya Dika, YouTuber yang kini memiliki jumlah subscriber mencapai 9,52 juta.

Baca juga: Awalnya Dubing Film India dengan Bahasa Batak, Pengantar Galon Air Sukses Jadi YouTuber

Melihat potensi YouTube yang bisa menghasilkan cuan, lambat laun platform ini mulai diminati, khususnya oleh anak muda.

Baca juga: Kisah Pedagang Cilok Jadi YouTuber, Awalnya Sempat Bongkar Celengan untuk Beli Ponsel Berkamera

Misalnya saja Atta Halilintar, Ria Ricis, hingga artis sekaliber Raffi Ahmad dan Baim Wong pun ikut meramaikan platform ini.

Pengamat media sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Dandi Supriadi mengatakan, beberapa nama di atas hanya sebagian kecil YouTuber yang berhasil.

Di antara nama-nama tersebut, banyak publik figure yang sebelumnya sudah dikenal luas.

Hal itu tentu saja dapat membantu mereka mendapatkan subscriber lebih cepat dan banyak seperti yang disyaratkan oleh YouTube jika ingin dimonitisasi.

2 Miliar pengguna

Dandi menjelaskan, saat ini pengguna YouTube di dunia lebih dari 2 miliar orang. Paling besar di India, Amerika Serikat, dan Indonesia.

“Pengguna YouTube di Indonesia 93 persen dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai lebih dari 202 juta,” ujar Dandi.

Dari jumlah itu, tidak semua menjadi konten kreator atau YouTuber. Jika dilihat dari jumlah channel dengan subscriber di atas 1 juta, hanya ada sekitar 600 saluran.

Kebijakan yang membuat YouTube slowdown

Untuk meraup cuan dari YouTube, ada YouTuber yang benar-benar mengejar konten.

Pernah ada YouTuber selama 700 hari nonstop membuat konten. Dia bisa mengunggah dua konten dalam sehari. Ada juga yang membuat konten sepekan sekali.

Intinya pembuatan konten harus direncanakan dengan baik dan terus menerus. Hal ini tentunya tidak mudah.

Dandi melihat, ke depan persyaratan yang ditetapkan YouTube semakin sulit, seiring dengan masyarakat yang mengharapkan rupiah dari YouTube.

Bisa jadi aturan akan diperketat, salah satunya dengan penerapancopy right.

Belum lagi besarnya keinginan masyarakat mendapatkan penghasilan dari YouTube membuat beberapa konten kreator melakukan apapun demi konten.

Dendi melihat kebijakan yang ketat ini membuat YouTube pelan-pelan bisa slowdown.

Apa pun demi konten

Sebenarnya, sambung Dandi, melakukan apa pun demi konten merupakan hal yang sudah terjadi sejak lama.

Dulu, dunia mengenal surat kabar. Agar bisa mendapat ketenaran, selalu ada orang-orang yang melakukan hal yang tidak seharusnya.

Hingga akhirnya berita menjadi tidak akurat. Begitu pun di zaman radio, sempat ramai hoaks penyerangan dari Mars dengan membuat suara seperti asli.

“TV sama saja. Intinya, apa pun medianya, dalam teori media dikenal Desire To Be Known, selama manusia memiliki keinginan itu (terkenal), apa pun bentuk medianya pasti akan terjadi,” ucap dia.

Untuk itu dibutuhkan penguatan literasi dari penonton maupun YouTuber.

Contohnya salah satu artis yang dikenal sebagai pengoleksi binatang eksotis.

Namun, sekarang artis itu mulai mengampanyekan bahwa bukan hal yang baik untuk mengoleksi binatang eksotis seperti yang pernah dia lakukan karena berdampak pada lingkungan.

Apakah YouTube mengubah pandangan tentang pekerjaan real?

Dandi mengatakan, fenomena YouTuber tidak akan mengubah pandangan orang untuk mencari pekerjaan mainstream,

Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang tetap mencari pekerjaan real.

“Contohnya, pembukaan PNS selalu ngantre dan yang gagal (jadi PNS) juga banyak,” ujar Dandi.

Tak bergantung dari YouTube

Dandi menyarankan agar para YouTuber tidak terlalu menggantungkan hidup pada platform YouTube. 

 

Dia mencontohkan seorang anggota polisi yang melepaskan seragamnya usai terkenal karena konten YouTube yang viral. Anggota polisi ini bahkan sempat bolak-balik masuk televisi.

Namun, kini nama polisi itu tak lagi terdengar. Begitu pun konten YouTubenya yang tak ramai ditonton dibandingkan konten saat dia pertama kali dikenal publik.

“Risikonya tinggi untuk menggantungkan hidup (dari YouTube),” tutur Dandi yang juga menjabat Kepala Kantor Komunikasi Unpad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com