LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com - Tinggal menghitung minggu menjelang perhelatan Asia Talent Cup (ATC) di Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 12-14 November. Lalu, disusul dengan gelaran World Super Bike (WSBK) pada 19-21 November.
Meski sejumlah agenda internasional bakal dihelat di Sirkuit Mandalika dalam waktu dekat, masih ada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan sirkuit. Masyarakat enggan pindah karena masih bersengketa dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku pengembang kawasan.
Salah satu warga yang masih bertahan adalah keluarga Amaq Bengkok, warga Dusun Ebunut, Desa Kuta, Lombok Tengah.
Amaq Bengkok masih bertahan di rumahnya ditemani sang istri, Yamin, dan anaknya yang masih duduk di sekolah dasar, Desi.
Siang itu, di bawah pohon asam, Amaq Bengkok sedang merajut jaring yang rusak karena terumbu karang. Tangannya cekatan merajut jaring yang biasa dipakai melaut itu.
Sesekali ia menatap alat berat yang sedang mengerjakan proyek Sirkuit Mandalika tak jauh dari tempat duduknya, sekitar 100 meter.
Dari tempat ia duduk, terlihat jelas sebuah bukit dengan logo bertuliskan MGPA, singkatan dari Mandalika Grand Prix Association.
Sama seperti hari biasanya, Amaq Bengkok terbiasa mengenakan sarung tanpa baju. Ia tak peduli dengan terik matahari yang menyengat siang itu.
Amaq Bengkok bangkit dari tempat duduknya. Ia hendak memindahkan ternak sapi ke lahan berumput lainnya.
Baca juga: Soal Penyelesaian Pembayaran Lahan di Sirkuit Mandalika, Gubernur NTB: Kita Coba Akan Membantu
Tak jauh dari tempat itu, rumah Amaq Bengkok terlihat masih berdiri. Bangunan itu terlihat reyot dengan pintu dari seng dan atap dari ilalang kering yang mulai lapuk.
Rumah itu merupakan bekas gusuran yang diterima akibat pembangunan Sirkuit Mandalika.
“Ini sudah rumah kita, pintunya dari seng kadang-kadang ayam itu masuk,” kata Amaq Bengkok tersenyum sambil menutup pintu rumahnya, Minggu (24/10/202!).
Amaq Bengkok menceritakan, cuaca pada siang hari di wilayah itu sangat panas. Sedangkan pada malam hari, kadang membuat Amaq Bengkok kedinginan.
Apalagi, rumah yang ditempatinya berukuran tiga 3x4 meter dengan dinding bedek yang sudah mulai berlubang termakan usia.
“Hujannya baru turun sekali, kalau siang panas sekali, dan malam dingin, lihat rumah itu rupanya, tapi mau tidak mau harus tinggal di sini, karena belum dibayar,” kata Amaq Bengkok.
Sementara itu, istri Amaq Bengkok, Yamin setiap hari mengantar anaknya ke sekolah. Ia terpaksa mengambil peran it karena sang suami tak bisa mengendarai motor.