Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketimpangan Pendidikan Si Kaya dan Si Miskin Saat Pandemi, Orangtua di Ladang Tak Bisa Dampingi Anaknya Belajar

Kompas.com - 26/10/2021, 07:50 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Tren stagnasi kemampuan akademik dasar (learning loss) terjadi akut pada anak-anak dari kelas ekonomi rendah dan yang tinggal di pedesaan selama pandemi, menurut sejumlah riset.

Meski begitu, kondisi ini diyakini tidak menimpa sebagian besar anak keluarga kelas menengah atas di perkotaan.

Jika tidak segera diatasi, para pakar khawatir ketimpangan pendidikan selama pandemi bakal melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin pada masa depan.

Namun mengapa pembelajaran tatap muka di sekolah tidak dianggap solusi atas persoalan ini?

Baca juga: Demi Sinyal Internet, Pelajar SMP di NTT Terpaksa Ujian di Gunung Ile Lewotolok yang Sedang Meletus

Ratusan kilometer dari Padang, Sumatera Barat, selama pandemi Covid-19, puluhan anak usia sekolah di Nagari Sisawah Kabupaten Sinjunjung, mendaki bukit dan masuk ke hutan untuk mencari sinyal.

Mereka harus mencari sinyal internet sebelum akhirnya bisa mencari ilmu.

Dua modal utama wajib dimiliki seluruh murid di seluruh dunia saat proses belajar di sekolah berpindah ke rumah: gawai dan internet.

Namun bagi anak-anak di kawasan pedalaman seperti Sisawah, dua benda tadi adalah kemewahan yang belum tentu mereka punyai.

"Di setiap jorong [dusun] ada tempat-tempat tertentu yang terlewati jaringan internet, biasanya di atas bukit atau di dalam rimba. Anak-anak pergi ke sana dari pagi buta, sore baru pulang," kata Felia Siska, akademisi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Sumatera Barat.

Baca juga: Demi Dapat Sinyal Internet untuk ANBK, 45 Murid SMP di Kalbar Menginap di Bukit

Ketiadaan jaringan internet menyulitkan banyak anak di berbagai wilayah Indonesia menjalani program 'belajar dari rumah'.ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN Ketiadaan jaringan internet menyulitkan banyak anak di berbagai wilayah Indonesia menjalani program 'belajar dari rumah'.
Felia merupakan warga Nagari Sisawah. Dia lahir dan tumbuh dewasa di wilayah itu. Dia mulai merantau saat masuk ke bangku sekolah menengah atas.

Hingga saat ini sekolah dengan jenjang tertinggi di desa itu adalah SMP. Baru-baru ini Felia meriset proses belajar daring para murid sekolah di Sisawah.

Dia menyimpulkan, kualitas pendidikan selama pandemi di desa itu rendah dan timpang dengan kualitas di kawasan yang ditunjang infrastruktur memadai.

Anak-anak yang mencari sinyal internet untuk belajar tadi adalah mereka yang merantau tapi pulang karena sekolah ditutup.

Baca juga: Perjuangan Siswa Perbatasan RI-Malaysia Ikut Ujian ANBK, 6 Jam Arungi Sungai Deras Cari Sinyal Internet

Sedangkan para siswa di Sisawah tidak menjalani belajar daring.

Felia berkata, satu kali dalam seminggu mereka diminta datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan tugas. Pada hari lainnya, anak-anak itu dianjurkan belajar mandiri.

Namun Felia menyebut penyebab situasi itu bukan hanya ketiadaan gawai dan internet. Faktor orang tua dan wali murid juga memicu buruknya situasi belajar di sana.

"Bagi orang tua di pedesaan seperti Sisawah, urusan belajar itu tanggung jawab sekolah karena orang tua harus mencari uang. Menurut mereka itulah gunanya anak-anak disekolahkan," ujar Felia.

Baca juga: Sulitnya Belajar Daring di Pedalaman Kaltim, Anak-anak Naik Bukit untuk Cari Sinyal

"Ada orang tua yang tidak tamat sekolah, bagaimana mereka bisa mengajari anak di rumah. Ada orang tua muda yang tamat SMA, mungkin bisa. Tapi lebih banyak yang tidak tamat SD."

"Mereka bersedia menyekolahkan anaknya saja itu sudah luar biasa karena pemikiran sebagian orang tua, mau sekolah, uang tidak ada. Kalaupun sekolah, nanti ujung-ujungnya menoreh karet," kata Felia.

Orang tua di ladang, tak bisa dampingi anak

Parmin (kiri), seorang guru di kaki Gunung Merapi, Boyolali, Jawa Tengah mengunjungi dua siswanya saat pandemi Covid-19. Momen itu juga digunakannya untuk berdiskusi dengan orang tua siswa.Getty Images/Ulet Ifansasti Parmin (kiri), seorang guru di kaki Gunung Merapi, Boyolali, Jawa Tengah mengunjungi dua siswanya saat pandemi Covid-19. Momen itu juga digunakannya untuk berdiskusi dengan orang tua siswa.
Nagari Sisawah terletak di tepi kawasan hutan yang dikenal dengan nama Rimba Lisun. Jarak dari setiap dusun menuju pusat nagari terbentang sekitar tujuh kilometer.

Satu-satunya jalan dari Sisawah menuju ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung baru diaspal tahun 2020.

Bentang alam Sisawah yang terdiri hamparan sawah, perbukitan dan gua memicu Kementerian Pariwisata mendorong nagari ini menjadi destinasi turisme.

Namun sebagian besar penduduknya masih bergantung pada hasil ladang dan karet.

Merujuk data kantor Walinagari Sisawah tahun 2020, hanya terdapat 23 anak yang bersekolah di desa itu. Sementara 88 anak lainnya bersekolah di luar Sisawah.

Baca juga: Curhat Warga Pulau Jaloh Batam: Di Sini Tak Guna HP Mahal, Sinyal Susah, Anak-anak Sulit Belajar Online

"Saya termasuk generasi pertama yang merantau untuk sekolah. Kalau kami tidak lanjutkan sekolah, orang tua senang. Anak laki-laki bisa bantu orang tua di ladang, yang perempuan menikah," kata Felia.

Kesenjangan kualitas pendidikan selama pandemi tidak identik pada situasi di Sisawah saja, tapi di seluruh penjuru Indonesia, kata Ulfah Alifia, peneliti di lembaga pemikir Smeru Research Institute.

Bukan hanya faktor internet dan orang tua, riset Smeru terhadap proses 'belajar dari rumah' menyoroti bagaimana guru juga berperan dalam stagnasi kemampuan akademik murid selama pandemi.

Baca juga: Perjuangan SMKN 13 Bungo, Sekolah Multimedia di Dusun Tanpa Sinyal

Sigit Pambudi, guru di pedesaan Solo, Jawa Tengah, membuat perangkat radio agar memudahkan para muridnya menerima materi pelajaran tanpa bergantung pada gawai dan internet.Getty Images/Ulet Ifansasti Sigit Pambudi, guru di pedesaan Solo, Jawa Tengah, membuat perangkat radio agar memudahkan para muridnya menerima materi pelajaran tanpa bergantung pada gawai dan internet.
Ulfah berkata, hanya guru di perkotaan yang cenderung memanfaatkan aplikasi gawai untuk memperlancar pembelajaran.

Namun di banyak pedesaan, ketiadaan internet dan minimnya penguasaan teknologi membuat proses belajar berhenti.

"Kebanyakan guru hanya memberikan tugas tanpa penjelasan. Anak seolah-olah diminta belajar sendiri dengan pendampingan orang tua," kata Ulfah.

"Kalau tingkat pendidikan orang tua tinggi, dia bisa mendampingi anak. Tapi jika pendidikan orang tua rendah, mereka tidak mampu. Mereka hanya petani, bagaimana bisa mengajarkan anak di rumah.

Baca juga: Kisah Audatus, Guru di Flores yang Tempuh 15 Kilometer Menuju Bukit demi Sinyal Internet

"Jenis pekerjaan orang tua juga menentukan apakah mereka bisa hadir pada aktivitas belajar anak," tuturnya.

Ulfah berkata, orang tua yang tak memiliki privilese untuk bekerja dari rumah, terutama mereka yang berkerah biru seperti buruh, kurir, dan asisten rumah tangga, cenderung tak dapat mengisi kekosongan yang ditinggal guru.

Cerita buruh

Kharisma Anisa Putri, murid SMP di Yogyakarta, menggantungkan proses 'belajar dari rumah' pada gawai sewaan seharga Rp30 ribu per bulan.Getty Images/Ulet Ifansasti Kharisma Anisa Putri, murid SMP di Yogyakarta, menggantungkan proses 'belajar dari rumah' pada gawai sewaan seharga Rp30 ribu per bulan.
Lelly, mantan pekerja migran di Tulungagung, Jawa Timur, sebelum pandemi memilih menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren.

Dalam sistem pendidikan berbasis asrama, Lelly bisa terbebas dari beban mengajari anak-anak.

Dengan bekal pendidikan, Lelly berharap ketiga anaknya bisa meraup masa depan lebih baik ketimbang dirinya yang bahkan tidak tamat SD.

Lelly yang sempat bekerja tanpa dokumen resmi di China kini tak bisa lagi merantau ke luar negeri karena pengiriman TKI mandek selama pandemi.

Baca juga: Banyak Murid di Bengkulu Belajar di Tepi Sungai supaya Dapat Sinyal

Untuk bertahan hidup, Lelly bekerja lepas dengan menggoreng bawang merah di UMKM di desanya.

"Kalau bisa anak-anak dapat pekerjaan yang lebih bagus dari saya. Saya buruh, kerja paling sehari dapat Rp 60 ribu, itu cuma bisa buat makan. Seminggu bahkan bisa tiga hari tidak bekerja jadi tidak ada pemasukan," ujar Lelly.

Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud menyebut standar kualitas pendidikan di Indonesia mundur hingga enam bulan selama proses 'belajar dari rumah'.

Baca juga: Sinyal Indonesia Akhirnya Berjaya di Perbatasan Timor Leste

Sementara itu, menurut Bank Dunia, sistem belajar daring memicu ketimpangan kemampuan akademik antara siswa dari keluarga miskin dan keluarga kaya hingga 10%.

"Semua anak berisiko mengalami learning loss tapi efeknya akan lebih parah pada anak dari keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah, yang tidak punya privilese," kata Ulfah dari Smeru.

"Pada akhirnya, merujuk pada penelitian global, itu akan berdampak pada masa depan anak," ucapnya.

Baca juga: Terkendala Sinyal Internet, SD di Gunungkidul Ini Masuk seperti Biasa

Jurang antara si kaya dan si miskin

Walau bekerja dari rumah, orang tua Kharisma Anisa Putri tak bisa selalu mendampinginya proses 'belajar dari rumah'.Getty Images/Ulet Ifansast Walau bekerja dari rumah, orang tua Kharisma Anisa Putri tak bisa selalu mendampinginya proses 'belajar dari rumah'.
Pakar pendidikan, Doni Koesoema, memprediksi puncak dampak negatif ketimpangan ini akan terjadi dalam satu dekade ke depan.

"Dampak terburuknya adalah ketidakadilan sosial. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin lebar," kata Doni.

"Ke depan ketimpangan akan makin lebar jika negara tidak hadir pada anak-anak yang rentan. Mereka tidak akan bisa kompetitif. Bonus demografi tahun 2035 tidak akan bisa tercapai karena ini sangat tergantung pada generasi sekarang," ujarnya.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 1,2 juta orang selama periode Maret 2020 dan Maret 2021.

Baca juga: Jaringan Internet Terganggu, Pemkot Jayapura Waspadai Munculnya Klaster Pencari Sinyal

Total penduduk yang masuk kategori miskin mencapai 27,54 juta pada Maret lalu.

Sementara pada periode yang hampir sama, jumlah orang Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 juta (Rp14,1 miliar) bertambah 62% menjadi sekitar 172 ribu orang. Data ini disusun oleh bank investasi Credit Suisse.

Apa solusinya?

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim dan Gubernur Edy Rahmayadi melakuka swafoto usai rapat koordinasi penyelenggatan PTM terbatas di Sumut, Senin (25/10/2021).Dok. Diskominfo Sumut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim dan Gubernur Edy Rahmayadi melakuka swafoto usai rapat koordinasi penyelenggatan PTM terbatas di Sumut, Senin (25/10/2021).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, selama pandemi ini mengakui terjadinya learning loss di kalangan siswa. Nadiem dan jajarannya juga tidak menampik berbagai riset tekait persoalan ini.

Strategi utama mengatasi learning loss yang mereka ambil adalah membuka sekolah secara terbatas. Selain itu, Kemendikbud juga melakukan program asesmen nasional untuk mengukur dampak learning loss.

Asesmen Nasional merupakan program penilaian mutu sekolah dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah.

Kualitas sekolah dinilai dari hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran.

Baca juga: Klaster Perkantoran di Jakarta Melonjak, Anggota DPRD: Sinyal Kalangan Terdidik Abai Protokol Kesehatan

Program asesmen nasional ini dijadikan sebagai pengganti ujian nasional selama masa pandemi.

Namun pegiat pendidikan Doni Koesoema menyebut asesmen nasional bukan solusi untuk mengatasi ketimpangan kemampuan akademik siswa.

"Learning loss terkait tingkat kemampuan akademik siswa ketika dia kembali ke sekolah. Jika dia ke sekolah dan guru langsung melanjutkan materi, anak akan semakin tertinggal. Jadi pembelajaran tatap muka malah jadi tidak efektif," kata Doni.

"Harus ada asesmen awal. Harus dilihat, misalnya anak kelas tiga sudah bisa bacakah? Kalau guru berasumsi semua murid bisa membaca, akan ada anak-anak yang makin tertinggal.

"Asesmen nasional berbeda. Yang saya maksud adalah asesmen kelas untuk mengukur tingkat akademik siswa.

Baca juga: Pelajar NTT: Bapak Jokowi Tolong Lihat Kami di Sini, Kami Butuh Internet

Bukit di belakang Kampung Kelian Luar yang bisa dikunjungi masyarakat untuk memburuh jaringan seluler. Istimewa Bukit di belakang Kampung Kelian Luar yang bisa dikunjungi masyarakat untuk memburuh jaringan seluler.
"Pada pelajaran bahasa Inggris misalnya, anak SMP yang melewatkan materi dasar, saat guru melanjutkan materi ke gramatikal, dia tidak akan paham.

"Saya belum melihat kementerian melakukan assesment kelas. Padahal banyak riset sudah merujuk itu," ujar Doni.

Kritik serupa dikatakan Ulfah Alifia dari Smeru Research Institute.

Untuk mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan yang diterima siswa selama pandemi, dia menyebut para guru perlu mendiagnosa kemampuan siswa.

Diagnosa itu, kata Ulfah, kemudian harus dilanjutkan dengan sistem pembelajaran yang terdeferensiasi.

Baca juga: Gunung Bunyi Terus, Kami Takut, tetapi Mau Bagaimana Lagi di Sini yang Ada Jaringan Internet

"Guru harus mengajar dengan cara berbeda pada setiap muridnya. Dia bisa membuat kelompok, dari siswa yang berkemampuan tinggi sampai rendah," tutur Ulfah.

"Cara mengajarnya harus berbeda pada setiap kelompok anak. Semua anak mengalami learning loss, tapi dampaknya dirasakan berbeda. Anak yang paling terdampak harus mendapatkan pembelajaran paling intensif.

"Ini sudah ada dalam panduan kurikulum untuk tahun ajaran baru. Tapi saya tidak tahu implementasinya seperti apa," ucapnya.

Baca juga: Bapak Presiden Jokowi Tolong Lihat Kami di Sini, Kami Butuh Jaringan Internet

'Pemda tak bisa lepas tangan'

Anak-anak dari kelas ekonomi rendah diyakini yang paling mengalami 'learning loss' selama pandemi Covid-19.Getty Images/NurPhoto Anak-anak dari kelas ekonomi rendah diyakini yang paling mengalami 'learning loss' selama pandemi Covid-19.
Lebih dari itu, pemerintah daerah juga disebut memiliki peran sentral untuk mengatasi ketimpangan pendidikan ini.

UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa urusan pendidikan anak usia dini dan nonformal serta pendidikan dasar (SD dan SMP) merupakan kewenangan pemerintah kabupaten atau kota.

Adapun urusan pendidikan menengah dan pendidikan khusus menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Sebaliknya, pemerintah pusat diserahi tugas mengurus manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, serta perizinan pendidikan.

Baca juga: 45 Pelajar SMP di Kalbar Jalan Kaki 13 Km untuk Ikuti ANBK, Gunakan Jaringan Internet Malaysia

"Pemda itu eksekutor di lapangan untuk asesmen. Mereka harus punya data, berapa anak yang tidak bisa belajar karena tidak punya gawai, misalnya," kata Doni.

"Dari situ pemda memulai intervensi. Mereka juga membantu pembiayaannya. Selama ini pemda diam saja karena menanggap semuanya sudah diurus pemerintah pusat. Pemda tidak pernah ada insiatif sesuai kebutuhan," ucapnya.

Namun tudingan ini dibantah, setidaknya oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Adib Alfikri.

Adib mengakui terdapat disparitas pendidikan di setiap siswa di provinsinya. Untuk mengatasi itu, sudah lembaganya meminta para guru untuk membuat siasat yang sesuai dengan persoalan di wilayah mereka.

Baca juga: Perjuangan Siswa di Sikka, 5 Jam Seberangi Laut demi Jaringan Internet, Ada yang Menangis Ketakutan

"Masing-masing sekolah dan guru punya metode evaluasi berbeda, misalnya remedi dan pembelajaran tambahan," kata Adib.

"Jadi tergantung kreativitas guru. Batas yang kami berikan adalah bahwa guru harus melakukan evaluasi, sejauh mana murid memahami materi dalam sistem pembelajaran daring.

"Kami di dinas selalu punya strategi. Bagi daerah yang tidak bisa daring sama sekali, kami izinkan untuk bersekolah sesuai protokol karena tidak mungkin kami paksakan daring sehingga anak tidak belajar sama sekali," kata Adib.

Bagaimanapun, learning loss hanyalah satu dari persoalan pendidikan yang dipicu pandemi.

Jurang kesejahteraan pada masa depan juga diprediksi akan meningkat karena menurut data Kemendikbud, angka putus sekolah naik hingga 10 kali lipat.

Selain itu, menurut Komnas Perempuan, angka perkawinan anak juga melonjak hingga 300% dalam setahun terakhir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NUSANTARA] Penemuan Kerangka Manusia di Gunung Slamet | Penipuan Katering Buka Puasa di Masjid Sheikh Zayed

[POPULER NUSANTARA] Penemuan Kerangka Manusia di Gunung Slamet | Penipuan Katering Buka Puasa di Masjid Sheikh Zayed

Regional
4.299 Hektare Sawah Gagal Panen Selama Banjir Demak, Produksi Beras Terancam Menurun Tahun Ini

4.299 Hektare Sawah Gagal Panen Selama Banjir Demak, Produksi Beras Terancam Menurun Tahun Ini

Regional
Curhat Korban Penipuan Katering Masjid Syeikh Zayed, Pelaku Orang Dekat dan Bingung Lunasi Utang

Curhat Korban Penipuan Katering Masjid Syeikh Zayed, Pelaku Orang Dekat dan Bingung Lunasi Utang

Regional
Imbas Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup hingga Besok

Imbas Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup hingga Besok

Regional
Calon Gubernur-Wagub Babel Jalur Perseorangan Harus Kumpulkan 106.443 Dukungan

Calon Gubernur-Wagub Babel Jalur Perseorangan Harus Kumpulkan 106.443 Dukungan

Regional
Keuchik Demo di Kantor Gubernur Aceh, Minta Masa Jabatannya Ikut Jadi 8 Tahun

Keuchik Demo di Kantor Gubernur Aceh, Minta Masa Jabatannya Ikut Jadi 8 Tahun

Regional
Hilang sejak Malam Takbiran, Wanita Ditemukan Tewas Tertutup Plastik di Sukoharjo

Hilang sejak Malam Takbiran, Wanita Ditemukan Tewas Tertutup Plastik di Sukoharjo

Regional
Diduga Janjikan Rp 200.000 kepada Pemilih, Caleg di Dumai Bakal Diadili

Diduga Janjikan Rp 200.000 kepada Pemilih, Caleg di Dumai Bakal Diadili

Regional
39 Perusahaan Belum Bayar THR Lebaran, Wali Kota Semarang: THR Kewajiban

39 Perusahaan Belum Bayar THR Lebaran, Wali Kota Semarang: THR Kewajiban

Regional
Gadaikan Motor Teman demi Kencan dengan Pacar, Pri di Sumbawa Dibekuk Polisi

Gadaikan Motor Teman demi Kencan dengan Pacar, Pri di Sumbawa Dibekuk Polisi

Regional
Digigit Anjing Tetangga, Warga Sikka Dilarikan ke Puskesmas

Digigit Anjing Tetangga, Warga Sikka Dilarikan ke Puskesmas

Regional
Elpiji 3 Kg di Kota Semarang Langka, Harganya Tembus Rp 30.000

Elpiji 3 Kg di Kota Semarang Langka, Harganya Tembus Rp 30.000

Regional
Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Regional
Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Regional
Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com