KOMPAS.com - Tren stagnasi kemampuan akademik dasar (learning loss) terjadi akut pada anak-anak dari kelas ekonomi rendah dan yang tinggal di pedesaan selama pandemi, menurut sejumlah riset.
Meski begitu, kondisi ini diyakini tidak menimpa sebagian besar anak keluarga kelas menengah atas di perkotaan.
Jika tidak segera diatasi, para pakar khawatir ketimpangan pendidikan selama pandemi bakal melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin pada masa depan.
Namun mengapa pembelajaran tatap muka di sekolah tidak dianggap solusi atas persoalan ini?
Baca juga: Demi Sinyal Internet, Pelajar SMP di NTT Terpaksa Ujian di Gunung Ile Lewotolok yang Sedang Meletus
Ratusan kilometer dari Padang, Sumatera Barat, selama pandemi Covid-19, puluhan anak usia sekolah di Nagari Sisawah Kabupaten Sinjunjung, mendaki bukit dan masuk ke hutan untuk mencari sinyal.
Mereka harus mencari sinyal internet sebelum akhirnya bisa mencari ilmu.
Dua modal utama wajib dimiliki seluruh murid di seluruh dunia saat proses belajar di sekolah berpindah ke rumah: gawai dan internet.
Namun bagi anak-anak di kawasan pedalaman seperti Sisawah, dua benda tadi adalah kemewahan yang belum tentu mereka punyai.
"Di setiap jorong [dusun] ada tempat-tempat tertentu yang terlewati jaringan internet, biasanya di atas bukit atau di dalam rimba. Anak-anak pergi ke sana dari pagi buta, sore baru pulang," kata Felia Siska, akademisi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Sumatera Barat.
Baca juga: Demi Dapat Sinyal Internet untuk ANBK, 45 Murid SMP di Kalbar Menginap di Bukit
Hingga saat ini sekolah dengan jenjang tertinggi di desa itu adalah SMP. Baru-baru ini Felia meriset proses belajar daring para murid sekolah di Sisawah.
Dia menyimpulkan, kualitas pendidikan selama pandemi di desa itu rendah dan timpang dengan kualitas di kawasan yang ditunjang infrastruktur memadai.
Anak-anak yang mencari sinyal internet untuk belajar tadi adalah mereka yang merantau tapi pulang karena sekolah ditutup.
Sedangkan para siswa di Sisawah tidak menjalani belajar daring.
Felia berkata, satu kali dalam seminggu mereka diminta datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan tugas. Pada hari lainnya, anak-anak itu dianjurkan belajar mandiri.
Namun Felia menyebut penyebab situasi itu bukan hanya ketiadaan gawai dan internet. Faktor orang tua dan wali murid juga memicu buruknya situasi belajar di sana.
"Bagi orang tua di pedesaan seperti Sisawah, urusan belajar itu tanggung jawab sekolah karena orang tua harus mencari uang. Menurut mereka itulah gunanya anak-anak disekolahkan," ujar Felia.
Baca juga: Sulitnya Belajar Daring di Pedalaman Kaltim, Anak-anak Naik Bukit untuk Cari Sinyal
"Ada orang tua yang tidak tamat sekolah, bagaimana mereka bisa mengajari anak di rumah. Ada orang tua muda yang tamat SMA, mungkin bisa. Tapi lebih banyak yang tidak tamat SD."
"Mereka bersedia menyekolahkan anaknya saja itu sudah luar biasa karena pemikiran sebagian orang tua, mau sekolah, uang tidak ada. Kalaupun sekolah, nanti ujung-ujungnya menoreh karet," kata Felia.
Satu-satunya jalan dari Sisawah menuju ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung baru diaspal tahun 2020.
Bentang alam Sisawah yang terdiri hamparan sawah, perbukitan dan gua memicu Kementerian Pariwisata mendorong nagari ini menjadi destinasi turisme.
Namun sebagian besar penduduknya masih bergantung pada hasil ladang dan karet.
Merujuk data kantor Walinagari Sisawah tahun 2020, hanya terdapat 23 anak yang bersekolah di desa itu. Sementara 88 anak lainnya bersekolah di luar Sisawah.
"Saya termasuk generasi pertama yang merantau untuk sekolah. Kalau kami tidak lanjutkan sekolah, orang tua senang. Anak laki-laki bisa bantu orang tua di ladang, yang perempuan menikah," kata Felia.
Kesenjangan kualitas pendidikan selama pandemi tidak identik pada situasi di Sisawah saja, tapi di seluruh penjuru Indonesia, kata Ulfah Alifia, peneliti di lembaga pemikir Smeru Research Institute.
Bukan hanya faktor internet dan orang tua, riset Smeru terhadap proses 'belajar dari rumah' menyoroti bagaimana guru juga berperan dalam stagnasi kemampuan akademik murid selama pandemi.
Baca juga: Perjuangan SMKN 13 Bungo, Sekolah Multimedia di Dusun Tanpa Sinyal