Ulfah berkata, hanya guru di perkotaan yang cenderung memanfaatkan aplikasi gawai untuk memperlancar pembelajaran.
Namun di banyak pedesaan, ketiadaan internet dan minimnya penguasaan teknologi membuat proses belajar berhenti.
"Kebanyakan guru hanya memberikan tugas tanpa penjelasan. Anak seolah-olah diminta belajar sendiri dengan pendampingan orang tua," kata Ulfah.
"Kalau tingkat pendidikan orang tua tinggi, dia bisa mendampingi anak. Tapi jika pendidikan orang tua rendah, mereka tidak mampu. Mereka hanya petani, bagaimana bisa mengajarkan anak di rumah.
Baca juga: Kisah Audatus, Guru di Flores yang Tempuh 15 Kilometer Menuju Bukit demi Sinyal Internet
"Jenis pekerjaan orang tua juga menentukan apakah mereka bisa hadir pada aktivitas belajar anak," tuturnya.
Ulfah berkata, orang tua yang tak memiliki privilese untuk bekerja dari rumah, terutama mereka yang berkerah biru seperti buruh, kurir, dan asisten rumah tangga, cenderung tak dapat mengisi kekosongan yang ditinggal guru.
Dalam sistem pendidikan berbasis asrama, Lelly bisa terbebas dari beban mengajari anak-anak.
Dengan bekal pendidikan, Lelly berharap ketiga anaknya bisa meraup masa depan lebih baik ketimbang dirinya yang bahkan tidak tamat SD.
Lelly yang sempat bekerja tanpa dokumen resmi di China kini tak bisa lagi merantau ke luar negeri karena pengiriman TKI mandek selama pandemi.
Baca juga: Banyak Murid di Bengkulu Belajar di Tepi Sungai supaya Dapat Sinyal
Untuk bertahan hidup, Lelly bekerja lepas dengan menggoreng bawang merah di UMKM di desanya.
"Kalau bisa anak-anak dapat pekerjaan yang lebih bagus dari saya. Saya buruh, kerja paling sehari dapat Rp 60 ribu, itu cuma bisa buat makan. Seminggu bahkan bisa tiga hari tidak bekerja jadi tidak ada pemasukan," ujar Lelly.
Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud menyebut standar kualitas pendidikan di Indonesia mundur hingga enam bulan selama proses 'belajar dari rumah'.
Baca juga: Sinyal Indonesia Akhirnya Berjaya di Perbatasan Timor Leste
Sementara itu, menurut Bank Dunia, sistem belajar daring memicu ketimpangan kemampuan akademik antara siswa dari keluarga miskin dan keluarga kaya hingga 10%.
"Semua anak berisiko mengalami learning loss tapi efeknya akan lebih parah pada anak dari keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah, yang tidak punya privilese," kata Ulfah dari Smeru.
"Pada akhirnya, merujuk pada penelitian global, itu akan berdampak pada masa depan anak," ucapnya.
Baca juga: Terkendala Sinyal Internet, SD di Gunungkidul Ini Masuk seperti Biasa
"Dampak terburuknya adalah ketidakadilan sosial. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin lebar," kata Doni.
"Ke depan ketimpangan akan makin lebar jika negara tidak hadir pada anak-anak yang rentan. Mereka tidak akan bisa kompetitif. Bonus demografi tahun 2035 tidak akan bisa tercapai karena ini sangat tergantung pada generasi sekarang," ujarnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 1,2 juta orang selama periode Maret 2020 dan Maret 2021.
Baca juga: Jaringan Internet Terganggu, Pemkot Jayapura Waspadai Munculnya Klaster Pencari Sinyal
Total penduduk yang masuk kategori miskin mencapai 27,54 juta pada Maret lalu.
Sementara pada periode yang hampir sama, jumlah orang Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 juta (Rp14,1 miliar) bertambah 62% menjadi sekitar 172 ribu orang. Data ini disusun oleh bank investasi Credit Suisse.
Strategi utama mengatasi learning loss yang mereka ambil adalah membuka sekolah secara terbatas. Selain itu, Kemendikbud juga melakukan program asesmen nasional untuk mengukur dampak learning loss.
Asesmen Nasional merupakan program penilaian mutu sekolah dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah.
Kualitas sekolah dinilai dari hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran.
Program asesmen nasional ini dijadikan sebagai pengganti ujian nasional selama masa pandemi.