Pernikahan mereka berlangsung sekitar tahun 1887 dan anak pertama mereka, Sukarmini lahir Singaraja, 13 Maret 1898.
Baca juga: Sebutan Kader PDI-P Celeng Ternyata Terinspirasi Pidato Bung Karno
Setelah anak pertamanya lahir, Soekemi membawa keluarganya pindah ke Jawa. Perpindahan ini dilakukan setelah keluar surat pengangkatan Soekemi sebagai guru pada tanggal 8 Agustus 1898.
Mereka kemudian tinggal di Pandean, Surabaya, Jawa Timur. Pandean saat ini menjadi bagian dari Kampung Peneleh.
Di kampung itulah Sukarno lahir pada 6 Juni 1901 bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud. Saat itu, Idayu berusia 20 tahun.
Saat Sukarno berusia 6 tahum Soekemi mengajak keluarganya pindah ke Mojokerto. Soekemi kemudian pindah di Blitar dan menjadi guru sejak 2 Februari 1915.
Baca juga: Cerita Makam Peneleh, Bekas Kuburan Mewah Pejabat Belanda di Surabaya
Idayu mendidik dua anaknya dengan bekal spiritual Hindu yang ia pelajari saat masih muda. Ia juga sering membacakan kisah Mahabarata untuk anaknya menjelang tidur.
Saat usia 15 tahun, Sukarno muda harus pindah ke Surabaya untuk meneruskan sekolah dan tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto.
Sebelum anak bungsunya pergi, Idayu meminta Sukarno berbaring di depan rumah dan perempuan asal Bali itu melangkahi badan Sukarno bolak bali-balik sebanyak tiga kali.
Baca juga: Bukan di Blitar, Presiden Soekarno Lahir di Jalan Peneleh Surabaya
"Kemudian dia menyuruhku bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, 'jangan sekali‐kali kau lupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar," ingat Sukarno.
Idayu juga memiliki peran pada pendidikan Sukarno. Saat itu, Sukarno bersikukuh akan melanjutkan pendidikan sekolah keluar negeri.
Namun sang ibu mencegahnya karena keluarga memiliki keterbatasan biaya. Saat itu Idayu mengatakan jika anaknya tinggal di Tanah Air, maka rasa cintanya kepada bangsa ini akan semakin besar.
Baca juga: Peneleh, Kampung Para Pahlawan dan Bapak Bangsa
Sukarno pun memutuskan untuk bersekolah ke Institut Tekhnologi Bandung yang saat itu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng.
“Aku ingin supaya engkau tinggal di sini, di antara bangsa kita sendiri. Jangan lupa sekali‐kali, nak! Bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulanan ini,” kata Idayu.
Ida Ayu Nyoman Rai meninggal pada 12 September 1958 di usia ke-77 dan suaminya, Seokemi meninggal pada 18 Mei 1945.
Mereka berdua dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdampinggan dengan makam putranya, Sukarno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.