Sarpin mengatakan, warga Suku Baduy percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Mereka melaksanakan ibadah ketika berinteraksi dengan sang pencipta.
Adapun bentuk ibadahnya, kata Sarpin, tidak ada cara dan waktu khusus.
Ibadah itu dilakukan dengan cara melafalkan doa saat melakukan rutinitas apapun.
"Kami percaya pada Allah yang Maha Kuasa, pada yang di atas, semua percaya ke situ. Bentuk ibadahnya dengan melafalkan doa peneda, doa wajib yang digunakan ketika ngajampe (memantrai) apapun," kata Sarpin.
Baca juga: Mengenal Kawalu, Upacara Adat Masyarakat Baduy untuk Menyucikan Diri
Sarpin mengatakan, banyak warga luar yang menganggap warga Baduy animisme dengan menyembah batu hingga pohon.
Namun, dia tidak setuju dengan hal itu karena warga Baduy memiliki Tuhan yang disembah.
Warga Baduy juga memiliki tiga imam yang ditinggikan dan jadi panutan.
Imam itu sekaligus Puun atau pemimpin tertinggi kampung di Baduy Dalam yakni Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.
"Warga Baduy bisa memilih ngikutnya ke mana, tiga imam itu yang jadi kiblat istilahnya bagi warga Baduy, kalau saya sendiri ke Cikertawana," kata Sarpin.
Sarpin melanjutkan, dalam kepercayaan Baduy dikenal istilah dosa dan pahala.
Ketika berbuat baik akan mendapat pahala atau ganjaran, sementara saat berbuat buruk akan mendapat dosa.
"Kami juga percaya jika surga dan neraka itu ada," kata Sarpin.
Selam Sunda Wiwitan juga mengenal tradisi selawat dan syahadat.
Cerita Sarpin, dirinya kerap mendapat pertanyaan terkait dua tradisi itu.
Tradisi selawat sendiri dilakukan ketika ada seorang warga Suku Baduy yang meninggal.
Selawat adalah uang yang diberikan dari keluarga mendiang kepada warga yang membantu proses pemakaman hingga selesai.
"Selawat wajib dilakukan oleh keluarga mendiang, kepercayaan di sini jika tidak memberikan uang selawat, nanti berat ke yang meninggalnya," kata Sarpin.
Sementara istilah syahadat, juga ada dan digunakan untuk melangsungkan pernikahan di masyarakat suku Baduy.
Pernikahan, kata Sarpin, tidak sah bila mempelai pengantin tidak mengucapkan syahadat.
Namun, syahadat yang dilafalkan berbeda lantaran menggunakan Bahasa Baduy.
Orangtuanya, termasuk dia sendiri dan anaknya juga melafalkan syahadat saat menikah.
"Saat menikah dihadiri oleh tetua adat dan penghulu serta saksi-saksi lain, tidak akan sah jika tidak mengucapkan syahadat," kata dia.
Untuk lebih memperkuat cerita dari Sarpin, Kompas.com menghubungi pegiat budaya yang dikenal dekat dengan masyarakat Baduy yakni Uday Suhada.
Uday sudah puluhan tahun berinteraksi dan dengan warga Baduy dan memperlajari kehidupan Urang Kanekes.
Ia mengatakan, warga Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan Nabi Adam.
Adapun cara beragama mereka berdampingan dengan kehidupan sehari-hari.
Mereka memiliki prinsip lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
"Maknanya adalah hidup dengan kejujuran, dengan kesederhanaan, apa adanya tidak merubah perilaku dan tidak merusak alam, memuliakan kehidupan serta memanusiakan manusia. Kira-kira itu substansi kepercayaan Sunda Wiwitan Masyarakat Baduy," kata Uday.
Ajaran Sunda Wiwitan di Baduy, kata Uday, memiliki 1001 tabu atau larangan.
Warga Baduy memilik banyak sekali aturan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dari berjalan, membangun rumah, kapan mulai bercocok tanam semua ada aturannya dan tunduk terhadap aturan adat.
"Walaupun tidak tertulis, tapi aturan tersebut melekat dan dipahami oleh masing-masing warga Baduy dari dulu hingga sekarang," kata dia.
Uday juga menjelaskan, soal asal-usul syahadat yang diucapkan saat pernikahan.
Menurutnya, syahadat ini ada kaitannya dengan era Kesultanan Banten terdahulu.
Saat itu, kata dia, Kesultanan Banten yang berkuasa di wilayah Banten menginginkan ada pencatatan data orang yang melakukan pernikahan, termasuk di Baduy.
Kesultanan kemudian mengutus warga untuk tinggal di Baduy dan menjadi penghulu, hingga saksi nikah dengan cara yang diperintahkan oleh sultan.
Mereka ditempatkan di sebuah kampung di pinggiran Baduy yang kini dikenal sebagai Kampung Cicakal Girang.
Kampung tersebut saat ini dikenal sebagai satu-satunya Kampung Baduy yang beragama Islam.
"Maka sampai sekarang, ketika warga Baduy menikah dihadiri oleh penghulu dari Cicakal dan mengucapkan syahadat," kata dia.
Sementara untuk tradisi khitan, serupa dengan yang diucapkan Sarpin, kata Uday, memang dilaksanakan sebagai bentuk untuk meng-selamkan, atau jadi bagian dari Selam Sunda Wiwitan.
Tradisi khitan di Baduy, kata Uday, biasanya digelar secara massal.
"Buat apa dikhitan? Selam itu selamatan atau selamat, mereka mengselamkan," kata Uday.
Persoalan agama di masyarakat Baduy beberapa tahun belakangan menjadi perhatian karena warga Baduy menginginkan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) ditulis Sunda Wiwitan.
Masyarakat Adat Baduy, kata Uday, berkali-kali berjuang, menyampaikan aspirasi baik ke pemerintah daerah maupun pusat agar kolom agama ditulis sesuai yang mereka inginkan.
Menurut Uday, mereka menginginkan kepercayaan mereka, yakni Sunda Wiwitan diakui dan sejajar dengan agama-agama lain di Indonesia.
Apalagi, eksistensi masyarakat Adat Baduy dengan Sunda Wiwitan sudah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Tapi sampai sekarang belum dikabulkan, saat ini di KTP mereka kolom agama ditulis Islam atau strip atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari dulu, mereka mengeluhkan itu," kata Uday.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.