“Tolong buka hatimu, kami minta diproses, sudah lama kami disini, cukup sudah, semua kita capek. Ada ibu hamil, anak-anak sekarang datang kesini. Kenapa? Karena kami capek,” kata Kubra dengan mata berkaca-kaca.
“Kita lari dari Afghanistan karena perang tapi disini kita mendapatkan masalah mental. Dan dalam satu tahun ini sudah ada 13 orang pengungsi yang bunuh diri (di Indonesia),” tambah Kubra.
Baca juga: Curhat Pengungsi Afghanistan di Batam, Mimpi Buruk dan Terbayang Wajah Keluarga
Kubra dan pengungsi merasa terisolasi sebab dibatasi, tidak boleh berpergian atau bekerja, dan tak mendapatkan hak sebagaimana manusia lainnya karena status pengungsi.
“Kami pengungsi sudah merasakan karantina selama bertahun-tahun, tak boleh bekerja, tidak ada hasil, tidak bisa belajar atau bertemu keluarga. Coba rasakan apa yang kami rasakan. Kami hanya ingin hidup normal di negara lain tapi kami tidak diproses kesana, hanya bilang tunggu-tunggu, sampai kapan,” kata Kubra.
Para pengungsi juga menceritakan kesulitannya mereka mengakses pendidikan untuk anak-anak selama tinggal di Kupang.
Selama di NTT, hanya anak PAUD dan SD yang bisa sekolah dan pendidikan mereka tak biayai oleh IOM. Sementara para orangtuanya dilarang bekerja karena berstatus pengungsi.
Untuk pendidikan anak di bangku SMP, SMA dan pergurun tinggi tak bisa terpenuhi.
Kubra menilai di Kupang prosesnya sangat lama padahal di kota lainnya di Indonesia banyak pengungsi yang sudah berangkat ke Negara ketiga.
Kubra menyesal karena setiap bulan pihak IOM menemui mereka di penginapan untuk memberikan uang bulanan namun tak berkomunikasi tentang proses ke negara ketiga.
Baca juga: Masa Depan Tak Jelas, Puluhan Pengungsi Afghanistan Gelar Aksi di Kupang
“Beberapa kali kita omong dengan mereka (IOM), tapi tidak ada solusi, tidak ada respon. Itu yang buat kami berkumpul disini. Jika tidak ada respon maka besok kami akan datang lagi,” janji Kubra.
Sementara itu Mohaddese (20) mengaku ingin bekerja dan mengenyam pendidikan yang layak. Namun hal itu tidak diperoleh karena statusnya sebagai pengungsi.
“Kami seperti hidup di penjara, seperti burung dalam sangkar, punya sayap tapi tak bisa terbang,” kata Mohaddese.
“Kami ingin ada kesetaraan dan mendapatkan hak kami. Kami sudah menunggu dengan sangat lama, 9 tahun tapi belum ada perubahan yang signifikan. Berharap ini menjadi perhatian IOM,” kata Mahadis.
Baca juga: 62 Imigran Asal Pakistan dan Afghanistan yang Positif Covid-19 di NTT Jalani Tes PCR, Ini Hasilnya
Sementara itu Hadis (14) mengaku datang ke Indonesia saat masih berusia 6 tahun. Saat itu tak mengerti apa-apa.
Namun ia berharap bisa mewujudkan cita-cita sebagai tentara. Rekan Hadis, Amir (11) bercita-cita sebagai dokter.