LAMPUNG, KOMPAS.com - Polda Lampung mengusut enam laporan terkait pinjaman online (pinjol) dari debitur yang merasa diteror.
Para debitur merasa dicemarkan nama baiknya oleh para debt collector.
Direktur Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Lampung, Komisaris Besar Arie Rachman Nafarin mengatakan, sudah ada enam laporan yang masuk terkait pinjol tersebut.
"Pelapor merasa diteror dan dirugikan nama baiknya," kata Arie saat dihubungi, Selasa (19/10/2021).
Baca juga: Polisi Ungkap Modus Operasi Teror Pinjol yang Digerebek di Yogyakarta, Pemiliknya Masih Diburu
6 perusahaan pinjol berbeda, lokasi bukan di Lampung
Arie mengatakan, enam laporan itu dari debitur enam perusahaan pinjol yang berbeda.
Arie menambahkan, pihaknya sudah menelusuri perusahaan pinjol yang dilaporkan tersebut. Dan menemukan, ternyata tidak berlokasi di Lampung.
Meski tidak secara rinci menjabarkan lokasi pinjol itu, Arie mengatakan, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan polresta/polres setempat.
Baca juga: Satgas Pengaduan Pinjol Ilegal Polda Jatim Telah Terima 45 Aduan
"Perusahannya bisa dikatakan gelap, atau ilegal. Sudah dicek, ternyata enggak ada kantornya," kata Arie.
Lebih lanjut Arie mengatakan, pencemaran nama baik itu terkait dipermalukan ke beberapa kontak pelapor.
"Jadi penagih online ini bilang ke teman-teman dekatnya apabila korban punya utang. Pun belum membayar. Diancam kalau tidak bayar akan dilaporkan ke pimpinannya," kata Arie.
Baca juga: Kerja di Pinjol Ilegal, Ancaman Hukumannya Mulai dari 9 Tahun Penjara
Di Lampung hanya 1 pinjol terdaftar
Sementara itu, Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung, Bambang Hermanto mengatakan, sampai saat ini baru satu perusahaan pinjol yang terdaftar, yakni PT Lampung Berkah Finansial Teknologi.
Menurut Bambang, perusahaan yang lebih dikenal dengan nama Lahan Sikam ini memiliki nasabah sebanyak 4.000 orang.
Bambang mengatakan, pihaknya sudah menerima pengaduan sebanyak 38 aduan dan konsultasi pada tahun 2019.
"Tahun 2020 ada 11 aduan dan konsultasi. Sedangkan pada tahun 2021 ada 13 aduan dan konsultasi," kata Bambang.
Rata-rata aduan melalui telpon dengan materi konsumen tidak bisa bayar dikarenakan dendanya sangat tinggi, pola penagihan yang tidak etis, data identitas korban di gunakan oleh pelaku untuk peminjaman online di tempat lain.
"Juga ada aduan tidak mengajukan pinjaman tapi dananya di kredit di rekening korban, identitas legal korban digunakan pelaku dengan mengubah data," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.