MODERNISASI pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur - Goenawan Mohamad
Kemajuan teknologi yang mengedepankan kecepatan, sejatinya “memaksa” setiap penggunanya untuk berpacu dengan segala hal yang baru. Setiap ada pembaharuan, menyusul pembaharuan berikutnya. Seperti tidak ada habisnya.
Kemajuan teknologi dengan modernisasi bagiakan dua hal yang saling berkelindan. Derasnya modernisasi di berbagai bidang termasuk dalam kehidupan warga di sebuah daerah, memang tidak ada yang bisa menahannya. Bagaikan udara, modernisasi dengan segala ragamnya menyeruak ke berbagai lapis kehidupan.
Baca juga: Madiun Bangun Replika Merlion, Big Ben dan Kabah untuk Memicu Ekonomi
Modernisasi tidak saja mengganti yang usang dengan yang baru, tetapi juga mengubah pola lama yang selama ini dianut dan diyakini kebenarannya. Padahal, nilai-nilai lama yang tetap relevan dengan kehidupan seharusnya diruwat dan dirawat sehingga modernisasi tidak menghilangkan esensinya sama sekali.
Bagi saya, Kota Madiun tidak sekedar wilayah yang kerap disinggahi karena sebatas ada pekerjaan semata. Madiun adalah kota kelahiran mendiang ayah saya di tahun 1933 serta kakek nenek yang menghabiskan waktunya di kota penghasil penganan brem ini.
Baca juga: Ramai soal Patung Merlion di Madiun, Ini Penjelasannya...
Melihat Madiun sekarang ini, tentu berbeda dengan melihat Madiun di tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an bahkan di era 2000-an. Saya sengaja memberi pembabakan waktu peninjauan untuk memisahkan jejak kepemimpinan lokal. Setiap era kepemimpinan, pasti memiliki andil untuk mengubah wajah kota.
Madiun sekarang ini begitu berubah cepat. Padahal, Madiun memiliki sejarah yang panjang. Kolonial penjajah baru masuk ke Madiun yang bekas perdikan Kerajaan Mataram itu pasca-Perang Pangeran Diponegoro (1825–1830).
Status tanah perdikan berarti bebas mengurus rumah tangganya sendiri. Cikal bakal Madiun adalah perdikan Taman dan Kuncen.
Jauh sebelumnya, pada masa akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit di wilayah Madiun Selatan terdapat Kerajaan Gagelang yang didirikan oleh Adipati Gugur Putra Brawijaya.
Adalah senopati perang Pangeran Diponegoro yang bernama Ali Basah Sentot Prawirodirdjo berasal dari Madiun. Dia membuat Belanda paham dan mengetahui potensi-potensi yang ada di Madiun.