Untuk makan selama di kapal, ia mengambil sisa makanan penumpang lain. Yesti tak pernah menyangka bisa melewati 37 jam perjalanan di kapal tersebut dan tiba di Surabaya.
"Jadi saat itu saya benar-benar nekat. Apa pun risiko yang akan terjadi nanti, saya akan terima," kata Yesti.
Sejak memutuskan meninggalkan kampung halaman, Yesti selalu yakin bisa menggapai mimpi-mimpinya.
"Saat berangkat ke Surabaya, saya punya keyakinan tersendiri bahwa saya pasti bisa. Mungkin semua sudah diatur sama Tuhan," ucap Yesti.
Perjalanan baru Yesti di ibu kota Provinsi Jawa Timur itu pun dimulai.
"Mungkin ini juga bagian dari rencana Tuhan, saya bisa lolos di kapal dan sampai Surabaya dan semuanya berjalan lancar saat itu," tutur dia.
Perjalanan awal sebagai ART
Yesti langsung bekerja sebagai ART di kediaman salah seorang pengusaha parfum di Nginden Intan Barat, Surabaya.
Sebulan bekerja, Yesti mendapatkan gaji pertama dari majikannya. Namun, ia belum bisa menikmati hasil jerih payahnya.
Meski jumlahnya tak seberapa, Yesti mengirim gaji pertamanya ke kampung halaman. Ia juga membayar utang kepada temannya untuk beli tiket travel.
"Itu saya ingat sekali. Gaji pertama saya langsung bayarkan pada teman yang uangnya sempat saya pinjam untuk bayar travel. Terus langsung bantu kakak dan orangtua. Saya belum bisa menikmati gaji saya," ucap Yesti.
Baca juga: Beredar Pesan Berantai Kasus Covid-19 di Surabaya Meningkat, Satgas Pastikan Hoaks
Bulan kedua bekerja sebagai ART, Yesti menggunakan gajinya untuk membeli pakaian. Pada bulan berikutnya, ia selalu mengirim uang bulanan kepada orangtua di kampung.
"Setiap bulan saya dapat gaji, uangnya saya bagi-bagi untuk orangtua dan kakak-kakak saya. Sampai sekarang, setiap bulan masih kirim uang untuk keluarga," ucap anak kelima dari enam bersaudara itu.
Meski bekerja sebagai ART, ia mengaku senang karena bisa membantu keluarga dan mengurangi beban yang dipikul orangtuanya.
Yesti, bahkan mulai bisa menabung. Dari tabungan itu pula, Yesti akhirnya bisa kuliah dan menjadi sarjana.
Perjuangan kuliah
Niat untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi tidak pernah ada di benak Yesti. Sebab, ia merantau ke Surabaya hanya untuk bekerja dan membantu orangtua.
Meski Yesti mengakui pernah punya cita-cita untuk bisa sekolah tinggi, asa itu selalu pupus. Ia menyadari, dengan segala keterbatasan, terutama secara ekonomi, ia merasa tak mungkin bisa menempuh pendidikan tinggi.
Jika hal itu ia lakukan, ia khawatir tidak bisa memberi kiriman uang lagi untuk keluarga di kampung halaman.
"Awal ke Surabaya tidak ada niat untuk kuliah. Karena saya sadar diri dengan keadaan ekonomi saya dan tidak mau menyakiti perasaan saya sendiri," kata Yesti.
"Saya dulu sudah tahu diri kalau saya tidak bisa melanjutkan cita-cita saya karena keterbatasan ekonomi. Saat itu, memikirkan kuliah pun sama sekali tidak ada. Karena saya sudah tahu dengan kondisi keluarga seperti apa," imbuh dia.
Pada 2014, ia mendapat telepon dari kakak sepupunya yang bekerja di Singapura. Kakaknya menilai, Yesti merupakan anak berbakat.