KOMPAS.com - Perjuangan hidup perempuan asal Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) Yesti Rambu Jola Pati, penuh lika-liku.
Perempuan itu nekat merantau di usia 18 tahun ke Surabaya. Saat itu, Yesti berangkat ke Surabaya untuk menjadi asisten rumah tangga (ART).
Delapan tahun berlalu, kini Yesti sudah memperoleh gelar sarjana pendidikan matematika dari Universitas dr Soetomo Surabaya.
Yesti juga akan meninggalkan pekerjaannya sebagai ART. Ia didapuk menjadi manajer sebuah restoran Italia di Surabaya.
Keputusan merantau ke Surabaya
Kondisi ekonomi keluarga merupakan faktor utama yang membuat Yesti merantau ke Surabaya. Ia memiliki keinginan kuat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Yesti masih ingat alasan yang membuatnya mantap merantau. Pernah satu hari, orangtuanya menangis saat makan malam keluarga.
Kedua orangtua terisak memikirkan kakak Yesti yang sedang kuliah di Kupang.
"Orangtua saat itu bilang, 'kita di sini bisa makan, lalu bagaimana dengan kakak kamu yang di Kupang, dia sudah makan apa tidak?'," kata Yesti menirukan perkataan orangtuanya saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (7/10/2021).
"Yang membuat saya sedih, saat saya melihat kedua orangtua saya meneteskan air mata. Melihat kondisi ekonomi keluarga juga seperti itu, kakak saya juga kuliah dan harus dibiayai," ujar Yesti.
Ketika peristiwa itu terjadi, Yesti baru menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Ia pun mendapat informasi lowongan kerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Surabaya dari tetangganya.
Baca juga: Siswi SMP di Buru Selatan Dinikahkan dengan Tokoh Agama, Guru dan Temannya Unjuk Rasa
Setelah mempertimbangkan dengan matang, Yesti memutuskan mengambil pekerjaan itu.
"Bermula dari situ, saya bertekad untuk bisa memperbaiki taraf hidup keluarga saya. Karena kebetulan ada yang mencari tenaga kerja, saya menawarkan diri agar saya bisa bekerja dan bisa membantu mengurangi beban orangtua," kata Yesti.
Keinginan Yesti itu sempat ditentang orangtuanya, mereka tak memberi izin. Alasannya, mereka tak memiliki kenalan dan keluarga di Surabaya.
Namun, keinginan Yesti untuk pergi ke Surabaya sudah bulat.
Pada Juli 2013, Yesti yang saat itu berusia 18 tahun, pergi ke Surabaya, membuka lembaran baru dalam kehidupannya.
Merantau tak membawa uang
Saat pergi ke Surabaya, Yesti sama sekali tak membawa uang. Ia hanya membawa dua pasang pakaian, termasuk yang dipakai di badan.
"Saya sama sekali tidak bawa uang, saat itu, karena memang tidak punya uang, handphone pun tidak ada saat itu," kata Yesti.
Untuk membeli tiket mobil travel dari rumah ke Pelabuhan Waingapu, Sumba Timur, Yesti meminjam uang temannya.
Perjalanan dengan mobil itu ditempuh sekitar dua jam. Tiba di Pelabuhan Waingapu, Yesti nekat masuk kapal tanpa membeli tiket.
Perjalanan menggunakan kapal dari Pelabuhan Waingapu menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ditempuh selama 37 jam. Di kapal, Yesti selalu sembunyi saat ada pemeriksaan tiket.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.