NUNUKAN, KOMPAS.com – Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) masih menjadi persoalan pelik bagi para pelajar yang ada di perbatasan Republik Indonesia–Malaysia.
Minimnya sarana prasarana di wilayah terisolir di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, membuat orangtua murid pontang panting mengumpulkan uang untuk transportasi anaknya ke wilayah yang memiliki jaringan internet, demi mengikuti ANBK.
"Gambaran pelosok seperti wilayah Kecamatan Lumbis Ogong merasakan sekali ketimpangan yang terjadi. Jangankan internet, listrik saja masih banyak yang belum bisa menikmati, sehingga ANBK menjadi sebuah beban tak ringan bagi warga perbatasan yang mayoritas menggantungkan hidup melalui sungai dan hutan ini,’’ujar Kepala Sekolah SMPN 2 Lumbis Ogong Rudi, Rabu (6/10/2021).
Baca juga: Istri Anggota DPRD Nunukan Dipolisikan, Diduga Lakukan Cyberbullying kepada Remaja
Rudi mengatakan, ada sekitar 20 pelajar SMPN 2 Lumbis Ogong yang dikirim ke Mansalong Kecamatan Lumbis demi mengikuti ANBK sejak 4–7 Oktober 2021.
Wilayah tersebut ditempuh dengan waktu 6 sampai 7 jam tergantung kondisi air sungai.
Ketika air sungai sedang deras, perahu bisa mengantarkan para penumpang dalam waktu 6 jam. Itupun harus bertaruh nyawa dengan banyaknya jeram menjulang yang dilewati.
Lambat sedikit saja membelokkan perahu, mereka bisa membentur batu besar dan terbawa arus kuat sungai.
Namun saat aliran air kecil, mereka terpaksa harus menarik perahu dengan tambang, bahkan harus berhenti dan menginap semalam di desa sekitar sungai.
‘’Kami tidak ada anggaran untuk transportasi, menyewa perahu itu biayanya sekitar Rp 8 juta. Mana cukup dana BOS kami yang hanya memiliki 61 pelajar. Akhirnya kami bermohon ke desa untuk penggalangan dana,’’kata Rudi.
Meski masalah transportasi terselesaikan, pihak sekolah masih harus menanggung biaya menginap 20 pelajarnya bersama sejumlah guru pendamping.
Akhirnya diputuskan, pihak sekolah bertanggung jawab penuh terhadap akomodasi dan penginapan selama berada di Mansalong.
Sekolah menanggung keperluan tersebut dengan anggaran sekolah.
‘’Kami berharap pemerintah pusat bisa melihat masalah ini dengan serius. Jangan pernah samakan pelosok dengan wilayah lain, kami butuh sentuhan pembangunan, jaringan internet dan infrastruktur. Bahkan bangunan sekolah SMPN 2 Lumbis Ogong sudah 16 tahun belum tersentuh pembangunan,’’kata Rudi.
Baca juga: Cerita Pacik Dillok, ODGJ di Nunukan yang Selalu Tambal Jalan Berlubang dan Gemar Menolong
Bagaimanapun, kata Rudi lagi, meskipun anak anak pelajar tinggal di pelosok, mereka tetap memiliki hak pendidikan layak.
"Makanya harus dipikirkan bersama, bagaimana masalah biaya tinggi dan kondisi alam yang berpotensi merenggut nyawa anak manusia. Kita sudah sering bicarakan ini, berharap pengambil kebijakan bisa mendengar dan memberikan hak yang selama ini belum kami dapat," jelasnya.