BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sudah turun-temurun sejumlah masyarakat di Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur, bertani kopi.
Namun, mereka bertani kopi dengan kebiasaan lama yakni petik ceri kopi secara campur atau merah dan hijau. Selain itu pengolahan kebunnya juga belum maksimal.
Di kebun kopi miliknya, para petani juga menanam sengon. Sebab, kopi dianggap harga jualnya murah dan tidak jadi perhatian utama.
Baca juga: Hari Kopi Internasional, dari Petani untuk Penikmat Senja
Namun, tiga tahun terakhir, 30 pemuda di desa tersebut memulai gerakan untuk mengubah kebiasaan lama para petani.
Mereka tergabung dalam kelompok petani kopi Java Ijen Madusari.
Mereka ingin para petani menjadikan kopi sebagai tanaman utama dan merawat kebunnya untuk meningkatkan kualitas kopi setempat.
Selain itu ingin membiasakan petani untuk memetik ceri kopi yang sudah matang atau petik merah.
Kemudian mengurangi pupuk kimia yang berlebihan dan kembali menggunakan pupuk organik.
"Kopi memang bukan jadi prioritas dan jadi tanaman sampingan. Kurang pupuk, kurang pemangkasan, intinya kurang perawatan," kata Ketua Kelompok Ahmad Iksan (27), Jumat (1/10/2021) malam.
Iksan mengatakan, kelompoknya mengolah sekitar 20,8 hektare kebun kopi. Anggota kelompoknya rata-rata masih muda dan mengolah meneruskan kebun kopi orangtuanya.
Langkah awal dengan memaksimalkan penggunaan pupuk organik untuk kesuburan tanah.
"Kata orang pakai pupuk kandang lama berbuah dan hasilnya sedikit, tapi kan jangka panjang. Kalau pupuk kimia itu lama-lama tanahnya keras dan produksinya bisa menurun," kata dia.
Kemudian mewajibkan petik merah dengan harapan produksi bisa lebih tinggi dan rasa serta kualitasnya meningkat.
Ia mencontohkan ceri kopi petik campur seberat 4 kilogram menghasilkan 1 kilogram green bean.
Sedangkan dengan petik merah bisa menghasilkan 1 kilogram green bean dengan berat 3 kilogram.