KOMPAS.com - Bakar batu sebagai media masyarakat Papua untuk bersilahturahmi. Sekarang dalam pesta bakar batu, mereka tak melulu bakar babi, tapi juga bakar ayam.
Hal ini sebagai bukti toleransi mereka terhadap masyarakat lain.
Dulu dalam sejarahnya bakar batu bagi masyarakat pegunungan tengah Papua, adalah pesta daging babi.
Namun sekarang di sejumlah tempat, pesta bakar batu sudah tidak lagi hanya daging babi, juga menyediakan daging ayam yang akan disuguhkan untuk mereka yang tidak bisa makan babi.
Baca juga: Menyatukan Budaya dan Agama, Muslim Wamena Gelar Tradisi Bakar Batu
Boleh jadi, ini menjadi bukti lain dari tingginya toleransi masyarakat Papua.
Seperti yang dilakukan masyarakat di sebuah distrik yang tak jauh dari Kota Karubaga, Ibu Kota Kabupaten Tolikara.
Dikutip dari Indonesia.go.id, sebagian masyarakat sibuk menyiapkan bakar batu sejak pagi hari, sebelum undangan datang. Ada yang datang membawa kayu, sayuran, rumput, dan batu.
Ada yang menyiapkan lubang, ada yang mulai membakar batu-batu dan ada pula yang memotong babi dan ayam. Semua berlangsung sangat cepat.
Baca juga: Panglima TNI Beri 59 Ekor Babi Hutan untuk Upacara Adat Bakar Batu di Papua
Di atas batu kembali dimasukkan rumput atau sayuran, menyusul daging, betatas, hipere (ubi), pisang juga dimasukkan ke dalamnya.
Jika semua sudah masuk, bebagai makanan tersebut ditutup kembali dengan sayuran dan rumput.
Untuk mengikatnya, mereka menaruh batu-batu di atas tumpukan tesebut.
Sambil menunggu daging matang, di situlah bupati dan para pejabat memberikan pidato dan imbauan.
Baca juga: Virus Corona Hentikan Tradisi Bakar Batu Menyambut Ramadhan di Lembah Baliem
Ratusan masyarakat yang datang duduk di tanah secara berkelompok sesuai kampung masing-masing. Mereka mendengar dengan baik pidato bupati dan tokoh masyarakat setempat.
Menginjak jam makan siang, dan pidato usai, sebagian yang bertugas masak segera membongkar lubang bakar batu.
Mereka mengiris daging yang besar-besar itu menjadi lebih kecil. Para perwakilan kelompok mendatangi lubang bakar batu. Mereka dapat jatah untuk masing-masing kelompok.
Baca juga: Bakar Batu, Cara Masak nan Rumit Khas Papua
Masyarakat antre rapi dan tidak rebutan.
Masing-masing kelompok mewakilkan salah satu anggotanya untuk mendekat ke lubang bakaran. Setelah mereka mendapat bagian, wakil ini lari menuju tempat kelompoknya berkumpul.
Kalau masih kurang, mereka kembali lagi ke tempat bakar batu. Hebatnya, ratusan orang yang datang akan dapat bagian semua.
Bakar batu merupakan tradisi suku Dani di Pegunungan Tengah Papua. Atau di suku Lani disebut lago lakwi.
Di Wamena, bakar batu lebih dikenal dengan sebutan kit oba isago, sedangkan di Paniai disebut dengan mogo gapil. Sementara itu di masyarakat Papua pantai, acara ini dikenal dengan istilah barapen.
Dalam tradisi bakar batu terdapat makna mendalam, yakni sebagai ungkapan syukur pada Tuhan dan simbol solidaritas yang kuat.
Bakar batu merupakan ritual memasak bersama yang bertujuan untuk mewujudkan rasa syukur kepada sang pemberi kehidupan.
Baca juga: Profil dan Sejarah Kabupaten Jayapura Papua
Ritual ini juga sering dilakukan untuk menghimpun orang pada prosesi pembukaan ladang, kelahiran, kematian, berburu, membangun rumah, perkawinan, dan juga hal-hal lain yang mengharuskan mobilisasi massa dalam jumlah besar.
Upacara bakar batu juga merupakan simbol kesederhanaan masyarakat Papua.
Baca juga: Gus Dur Tidak Bisa Dipisahkan dari Papua, Ada di Dalam Hati Semua Masyarakat Papua
Muaranya ialah persamaan hak, keadilan, kebersamaan, kekompakan, kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan yang membawa pada perdamaian.
Bahkan di komunitas muslim Papua, misalnya, di daerah Walesi Jayawijaya dan komunitas muslim Papua daerah lain, dalam menyambut Ramadan, mereka juga melakukan bakar batu. Namun media yang dibakar diganti ayam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.