MADIUN, KOMPAS.com- Mengenakan caping, berbaju lengan panjang dipadu rok panjang seorang nenek mendorong gerobak berisi jamu tradisional di ruas jalan Setiabudi, Kota Madiun, Kamis (30/9/2021) siang.
Tak ada tanda kelelahan terpancar pada raut muka nenek itu, kendati usianya sudah uzur.
Langkah kakinya pun masih kokoh meski setiap hari harus mendorong dagangannya, puluhan liter jamu tradisional yang disajikan dalam botol-botol bekas air mineral.
Napas nenek yang sudah memilik cicit ini juga tidak tersengal-sengal kendati berkeliling di jalanan Kota Madiun, dari pagi hingga siang hari.
Baca juga: Telantarkan Anak dan Istri, Brigadir DT Dipecat secara Tak Hormat
Dialah Painem (74), seorang nenek renta yang masih kokoh dan gigih berjuang menyambung hidupnya di tengah pandemi Covid-19.
Meski wabah corona banyak menelan korban para lansia, hal itu tak menyurutkan langkah Mbah Painem untuk tetap berjualan jamu tradisional keliling.
Bagi Painem, umur renta tak boleh menghalangi niatnya berusaha mencari rejeki untuk menghidupi dirinya sendiri.
Maklum, sejak suaminya meninggal empat tahun lalu, Mbah Painem praktis tinggal sendiri di gang 7, Jalan Nusa Penida, Kelurahan Klegen, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.
Sebelum berjualan keliling jamu tradisional, Mbah Painem sempat memilik warung bakso dan soto di Kota Surabaya.
Lantaran umur yang sudah tua, Mbah Painem bersama almarhum suaminya memutuskan pulang ke kampung halaman di Kota Madiun.
Baca juga: Dugaan Korupsi Dana PBB P2 Sebesar Rp 150 Juta, Pensiunan PNS Bapenda Madiun Ditahan
Meski memiliki dua anak, beberapa cucu dan cicit, Mbah Painem enggan tinggal bersama anak-anaknya.
Mbah Painem merasa menikmati hidupnya kendati setiap hari harus disibukkan dengan aktivitas menjual jamu tradisionalnya.
Tak hanya sekadar jualan, Mbah Painem rupanya juga meracik dan mengolah sendiri jamu-jamu tradisionalnya.
Bahkan proses membuat aneka racikan jamu tradisionalnya dimulai dari pukul 01.00 dini hari.
“Saya bangun sekitar pukul 01.00 dan mulai meracik membuat jamu sendiri hingga menjelang Subuh,” kata Painem.
Botol itu lalu dimasukkan satu persatu pada kotak-kotak di atas gerobaknya.
Pagi hari sekitar pukul 07.00 Mbah Painem langsung turun mendorong gerobaknya di rute jalan yang biasa dilewati.
Biasanya, Mbah Painem mulai keliling dari ruas Jalan Thamrin hingga masuk ke gang-gang jalan berbagai kampung di bumi pecel.
Menjelang Dhuhur tiba, Mbah Painem memilih pulang agar bisa beristirahat
Lima tahun berjualan keliling jamu tradisonal banyak pengalaman yang didapatkan Mbah Painem.
Selain mendapatkan omzet Rp 150.000 hingga Rp 200.000 setiap harinya, banyak warga yang bersimpati dengan perjuangan Mbah Painem bertahan hidup dengan berjualan keliling jamu tradisional.
“Kadang dapat Rp 200.000 dan kadang dapat Rp 150.000. Sedikit banyak tetap saya syukuri karena itu pemberian rejeki dari Allah kepada saya,” ujar Painem.
Acapkali, warga memberikan bantuan berupa sembako, makanan hingga uang tunai.
Bahkan ada sekelompok warga yang memberikan gerobak berbahan alumunium bagi Mbah Painem agar awet digunakan.
Baca juga: Hutan Banyak Ditanami Porang, Kota Madiun Terancam Bencana Banjir Kiriman
Pandemi yang merontokkan aneka usaha di berbagai sektor ekonomi, tak berlaku bagi usaha jamu keliling Mbah Painem
Sejak wabah corona melanda hampir dua tahun, Mbah Painem tetap eksis dengan jualan keliling jamu tradisionalnya.
Kepasrahan dan kepercayaan Mbah Painem terhadap kemahabesaran dan kemurahan Sang Pencipta menjadikan nenek itu dilancarkan usahanya.
Dari hari ke hari jamu tradisional keliling Mbah Painem makin dikenal banyak orang
Selain harganya yang murah, jamu tradisional Mbah Painem dikenal asli.
Dalam satu geroboknya ia menyediakan aneka jamu mulai dari beras kencur, paitan hingga kunir asem.
“Saya percaya apa yang diberikan Tuhan. Karena semuanya Tuhan yang menentukan. Mau dibuat ramai ya ikut dibuat sepi juga nggak apa-apa. Semuanya itu kehendak Tuhan,” ujar Mbah Painem.
Mbah Painem pun merasa bersyukur jarang sakit selama berjualan jamu tradisional dengan gerobok dorong.
Bila sakit seperti pusing ia tinggal menghubungi anak atau cucunya melalui sambungan telepon seluler.
“Kalau rasa sakit atau tidak enak badan saya tinggal hubungi anak atau cucu saya. Kebetulan cucu saya membelikan handphone,” kata Painem.
Novi salah satu pelanggan mengaku sering membeli jamu tradisonal buatan Mbah Painem lantaran murah dan asli.
Satu botol ukuran 600 mililiter hanya dibanderol Rp 5.000 untuk jamu beras kencur atau kunir asem.
“Saya sering beli jamu kunir asem kalau ketemu mbahnya di jalan,” kata Novi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.