Dalam penahanan, Gabriel yang saat itu masih sangat muda, mengaku stres dan khawatir tidak akan bebas.
Para penjaga penjara selalu memberikan pukulan dan berkata, bebas atau tidaknya pejuang Indonesia, tergantung Soekarno.
"Nasib ke depan dalam suasana pertempuran tidak ditahu, kami yang saat itu masih cukup muda memutuskan membuat kenangan dengan saling mentato lengan. Kami sebut itu tato Gerakan Gerilya Kalimantan Utara (GGKU). Saat itu Bapak Soekarno berniat mendirikan wilayah Kalimantan Utara," lanjutnya.
Tato GGKU memiliki lambang tengkorak dengan dua senapan yang terpasang bayonet berbentuk menyilang, tepat di bawah gambar tengkorak.
Baca juga: Istri Anggota DPRD Nunukan Dipolisikan, Diduga Lakukan Cyberbullying kepada Remaja
Gabriel menegaskan, tato tersebut adalah sebuah kebanggaan dan sebagai pengingat perjuangan mempertahankan kedaulatan NKRI.
"Ini bukan hanya tato, tapi perlambang persaudaraan dan kesetiaan terhadap Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa pasukan kami menjadi bagian sejarah," tegasnya.
Semangat Gabriel saat menceritakan kisah Konfrontasi begitu kontras dengan fisiknya.
Usia, membuat penyakit asam uratnya kian parah.
Sehari harinya, ia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur rumah petak sederhananya, Jalan Sei Sembilan, Nunukan Selatan.
Gabriel selalu mengikuti informasi dan perkembangan Indonesia.
Saat sehat, ia selalu menyisihkan uang Rp 4.000 setiap harinya untuk membeli Harian Kompas.
Istri Gabriel, Marta Tuto, mengaku sering menegur suaminya dan mengatakan lebih baik untuk membeli lauk saja ketimbang koran.
"Bapak marah kalau ditegur begitu. Sudah usia segitu, masih saja selalu mau tahu berita. Tapi begitulah dia, Bapak selalu marah marah kalau membaca berita korupsi," kata Marta.
Ia melanjutkan, suaminya juga pernah dipercaya untuk menjadi awak kapal tempur.
Sejak kembali bebas dari tahanan Malaysia, Gabriel pernah mengawaki empat kapal, di antaranya ada KRI Antang dan KRI Tongkol.
"Banyak kebisaan bapak, waktu berada di kapal perang, Bapak sering ajak teman temannya dari Adonara yang di Nunukan pulang kampung," imbuhnya.
Di usia senjanya, Gabriel mengaku kecil hati karena perjuangan para pahlawan seakan tidak lagi menjadi perkara yang disakralkan saat ini.
Perlakuan pemerintah terhadap eks pejuang atau veteran seperti Gabriel Luly tak seperti dulu.