Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Museum Anak Bajang Resmi Dibuka, Masyarakat Bebas Interpretasi Karya Seniman

Kompas.com - 27/09/2021, 18:44 WIB
Wisang Seto Pangaribowo,
Khairina

Tim Redaksi

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Museum Anak Bajang yang berada di Pakem, Wonorejo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta diresmikan dengan menggelar Festival Anak Bajang, Senin (27/9/2021).

Festival Anak Bajang ini digelar dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat misalnya saat tamu datang wajib cek suhu, cuci tangan, wajib memakai masker, selain itu dalam festival ini tamu undangan dibatasi.

Festival Anak Bajang dimulai dengan penampilan tarian yang merepresentasikan dari novel berjudul Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.

Baca juga: Mahasiswi 19 Tahun di Balikpapan Tawarkan Investasi Bodong, Ratusan Orang Tertipu, Raup Duit Miliaran Rupiah

Kepala Museum Anak Bajang Rohma Arya Dwi Ariyanti menyampaikan, peluncuran museum dan karya cerita bersambung dari Shindunata awalnya bukan berbentuk festival. 

Tetapi, karena banyaknya dukungan dari seniman-seniman akhirnya launching museum dan karya seni ini berbentuk festival.

"Ini kegiatan di luar dugaan karena kami rencana awal mau launching museum dan launching cerita bersambung dari Romo Shindu. Kemudian Mas Paningron memberikan apresiasi dengan bentuk seni tari, dan seniman lain memberikan apresiasi dengan bentuk yang berbeda seperti lukisan," kata Rohma saat ditemui di Museum Anak Bajang, Senin (27/9/2021).

Lanjut Rohma, museum ini tidak seperti museum pada umumnya di mana museum hanya memajang benda-benda bersejarah dari tokoh-tokoh ternama.

Di Museum Anak Bajang ini benda yang dipajang dari seniman bebas diinterpretasikan oleh masyarakat, sehingga tercipta masyarakat yang belajar secara merdeka.

"Museum kami tidak hanya memajang benda-benda mati. Tetapi, juga aktivitas karena kami adalah museum for community jadi museum untuk masyarakat. Komunitas inilah yang memberikan interpretasi atas benda-benda kemudian menghidupkan kami memberikan interpretasi untuk keberlanjutan belajar merdeka mendatang," kata dia.

Museum ini terbagi menjadi 7 komplek, pertama adalah Asrama Anak Bajang yang di dalamnya terdapat dua ruangan yaitu Asram dan Sindu Skoel.

"Ruang Asram ini narasinya cerita Anak Bajang. Atas kebaikan seniman-seniman di Yogyakarta yang memberikan bantuan kami, ada banyak seniman seperti ada koleksi dari Kartika Afandi, Nasirun. Sedangkan Sindhu skoel ini karya-karya unik. Jadi Romo Sindhu ini perintis museum yang sebetulnya punya cerita seniman yang biasa, filsafat, dan bola diintepretasikam seniman dengan bentuk lukisan," jelas Rohma.

Baca juga: Terkendala Hasil Otopsi, Kematian Mahasiswa UHO Kendari Yusuf Kardawi Masih Misteri

Komplek kedua adalah Kapujanggan, dimana di dalamnya berisi tulisan-tulisan, mesin ketik milik Douwes Dekker, Gramaphone, dan kitab bertuliskan huruf Arab pada media daun lotar, yang disumbangkan oleh Yenni Wahid.

"Ruang kedua, kita dedikasikan untuk orang biasa karena orang biasa tidak punya museum ada tukang becak, pekerja-pekerja dari segala profesi. Setiap orang punya ruang dan sejarah. Museum dinamis, kami sharing pengetahuan," ujar dia.

Lanjutnya adalah Panyarikan yang memadukan karya seni dan karya jurnalistik. Lalu ada juga Taman Yakoban, yang di dalamnya berisi peninggalan 5 tokoh pendiri pers di Indonesia. Di taman ini ditampilkan proses pendirian surat kabar Kompas.

"Ada Taman Yakoban ada 5 tokoh pendiri pers kami membawa spirit bahwa koran cetak tidak boleh mati. Di sana itu proses pendirian surat kabar Kompas," tambahnya.

Selain itu, ada Komplek Panepen yang di dalamnya ada 7 agama. Di dalam komplek ini menunjukan pluralisme dan terdapat relief Gus Dur yang sedang naik barongsai.

"Panepen itu ada 7 agama disana ada Pura Gadung Melati untuk Hindu, Mbok Turah itu kepercayaan masyarakat lokal, Candi Slamet bentuk pluralisme karena pada reliefnya ada Gus Dur naik barongsai, lalu di bawah itu untuk Kristen dan Katolik," katanya.

Lanjut dia, terdapat Langgar Tombo Ati di dalamnya memajang sajadah milik mendiang Gus Dur, dan komplek terakhir adalah Omah Petruk.

"Komplek terakhir Omah Petruk ini tempat peristirahatan, cafe dan lainnya. Karena ini tempat konteplasi untuk menulis teman-teman," ujar Rohma.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com