Keberadaan struktur bata kuno itu pertama kali ditemukan oleh sejumlah warga yang sedang beraktivitas di sawah mereka pada Mei lalu.
Struktur itu menjadi terlihat setelah aliran deras air di saluran irigasi persawahan itu menggerus dinding tanah dan membuat satu bagian dari struktur itu menjadi terlihat.
Salah satu sisi dari struktur yang terlihat itu berukuran panjang 3,3 meter dan tinggi 0,64 meter yang tersusun dari 7 lapis batu bata.
Struktur tersusun dari batu bata berukuran sekitar 6 sentimeter x 20 sentimeter x 30 sentimeter, dimensi batu bata yang cukup besar dan membuktikannya sebagai peninggalan dari bangunan kuno.
Lokasi temuan berada kurang dari 50 meter dari dinding pagar terluar RSUD Mardhi Waluyo di Jalan Kalimantan, Kota Blitar atau di sisi timur wilayah Kota Blitar.
Lokasi itu, menurut Nonuk, mengindikasikan adanya pertimbangan letak yang merespons keberadaan gunung berapi aktif, Gunung Kelud.
Beberapa kilometer ke arah utara atau arah Gunung Kelud, ujar Nonuk, sungai purba yang menjadi saluran lahar Gunung Kelud terpecah menjadi dua anak sungai, satu mengarah ke barat daya dan satunya ke tenggara.
Nonuk merujuk pada dua anak sungai yang masing-masing mengalir di sisi paling timur Kota Blitar dan satu lagi mengalir di sisi barat Kota Blitar.
Hal itu membuat seolah aliran lahar Gunung Kelud sengaja menghindari lokasi di mana situs diduga hunian kuno bangsawan itu berada.
Jika ditarik garis lurus, posisi situs berada di garis lurus dengan Candi Penataran di sebelah utara kemudian ke utara lagi dengan Gunung Kelud, gunung berapi yang menempati posisi penting sebagai tempat Sang Hyang Acalapati perwujudan Desa Siwa bertahta.
Jarak situs sekitar 13 kilometer ke Candi Penataran dan sekitar 35 kilometer ke puncak Gunung Kelud.
"Ini pilihan posisi yang sangat menarik," tutur Nonuk.
Menurut Nonuk, situs itu memiliki potensi tinggi untuk dilakukan upaya penyelamatan lebih lanjut dan juga untuk dilakukan penelitian arkeologi dan sejarah.
Selama ini, kata dia, minimnya peninggalan pemukiman kuno di Jawa membuat kajian-kajian arkeologi dan sejarah terkait konsep tata ruang masyarakat era peradaban Hindu-Budha lebih banyak berpijak pada konsep tata ruang puri-puri di Pulau Bali.
Selama kegiatan survei, Tim dari BPCB Jatim juga melakukan pengumpulan informasi dari kemungkinan adanya cerita tutur yang diturunkan dari nenek moyang mereka terkait keberadaan situs.
Seorang petani bernama Surat, mengaku menerima cerita dari kakeknya tentang adanya sisa-sisa bangunan kuno di sekitar titik yang sedang digali.
Menurut Surat, selain struktur bata kuno, kakeknya juga menyebut keberadaan sumur tua di salah satu sudut area itu dan juga sisa-sisa bangunan yang diduga sebagai kandang kuda.
"Ada juga cuilan lumpang batu di sebelah utara sana," kata Surat.
Pengamatan Kompas.com di lokasi, serakan bata kuno memang terlihat di sejumlah titik di radius sekitar 200 meter dari titik yang sedang digali oleh tim.
Beberapa bata berukuran besar itu bahkan dimanfaatkan oleh warga untuk beberapa keperluan seperti sekedar menindih terpal-terpal agar tidak terbawa angin.