Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele.
Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan.
Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan "Selamat Datang di Kampung Naga" langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.
Baca juga: Desa Wisata Alamendah Bandung, Tempat Mengamati Burung dan Wisata Religi
Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih.
Serta berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak.
Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni.
Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya sejak kampung ini berdiri.
Rumah-rumah di Kampung Naga tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya.
Baca juga: Perjuangan Warga Daraman, Mimpi Desa Wisata dan Musibah Tragis
Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela.
Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam. Sungguh bersahaja.
Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda.
Baca juga: Desa Wisata Sungai Batang Sumatera Barat, Tempat Kelahiran Buya Hamka
Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri.
Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga.
Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun.