Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Keistimewaan, Pintu Masuk Klaim Tanah oleh Keraton Yogyakarta (1)

Kompas.com - 22/09/2021, 21:16 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Dony Aprian

Tim Redaksi

Tulisan ini merupakan bagian ketiga hasil peliputan Kompas.com bersama Tirto.id, Jaring, Suara.com, dan Project Multatuli dalam proyek Liputan Kolaborasi Investigasi Isu Agraria yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Tidak ada tanah negara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Demikian penegasan Gubernur DIY sekaligus Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015.

Terbukti, pada 2020 sudah ada 150 sertifikat tanah desa yang mengalami penyesuaian status hak milik kasultanan atau kadipaten berdasarkan data Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana atau Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY, meliputi Kabupaten Gunungkidul, Sleman, dan Bantul masing-masing 50 sertifikat.

Menyusul 2021, Dispertaru DIY telah menargetkan penyesuaian kembali untuk 2.090 sertifikat dan pada 2022 sebanyak 7.727 sertifikat.

Sertifikasi tanah-tanah desa dilakukan mengacu Pasal 11 ayat 2 Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.

Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (1)

Bahwa sertifikat tanah desa atas nama pemerintah desa yang semula dengan hak pakai di atas tanah negara diubah menjadi hak pakai di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Puro Pakualam.

Sejumlah pihak memandang program penatausahaan hingga sertifikasi tanah kasultanan dan kadipaten di DIY ini menjadi bagian dari upaya penarikan kembali tanah desa menjadi milik kasultanan dan kadipaten.

Peneliti Agrarian Resource Center (ARC) Bandung Erwin Suryana menduga salah satu alasan kasultanan dan kadipaten ngotot menjadikan tanah desa bisa dikendalikan di bawah kekuasaan mereka adalah untuk kepentingan investasi.

Kasultanan dan kadipaten bisa menarik manfaat melalui klaim tanah desa merupakan tanah mereka.

“Ini upaya untuk mengunci tanah-tanah tersebut tetap menjadi Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG),” kata Erwin saat diwawancarai secara daring, Jumat (19/2/2021).

Dia menjelaskan, dari sudut pandang sejarah, tanah-tanah desa di Yogyakarta pada awalnya merupakan tanah yang dikuasai kasultanan dan kadipaten.

Penguasaannya secara feodal dengan model apanage atau bisa juga dipahami dengan istilah lungguh.

Setelah muncul sebuah lembar kerajaan yang disebut Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918, terjadilah perubahan.

“Yang tadinya (tanah desa di DIY) bersifat apanage, kemudian itu dihapuskan. Digantikan dengan anggaduh,” jelas dia.

Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (3)

Penarikan nilai sewa yang harus dibayar atas penggunaan sebidang tanah selama periode waktu tertentu atau disebut rente dilakukan langsung di bawah kelurahan. Sebelumnya, sewa tanah atau pajak ditarik oleh utusan raja atau pemegang apanage yang disebut bekel.

“Bersamaan penerbitan Rijksblad, muncul juga struktur organisasi pemerintahan di tingkat bawah. Di situ mulai dikenal yang namanya kelurahan-kelurahan dari kasultanan dan kadipaten,” tutur Erwin.

Nah, saat memasuki tahun kemerdekaan Indonesia pada 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kasultanan dan kadipaten bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tunduk pada Undang-Undang (UU) yang berlaku. Kemudian keluarlah UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.

Tak ada klausul yang menyebutkan kasultanan dan kadipaten merupakan pemilik tanah-tanah di DIY, melainkan pemerintahan DIY disebut punya wewenang untuk mengatur pertanahan.

Pada 1954, muncullah Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam Pasal 6 disebutkan kelurahan sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, yang selanjutnya disebut tanah desa.

Tanah desa antara lain dapat digunakan untuk memberi nafkah kepada para petugas kelurahan (tanah pelungguh), untuk pensiunan perangkat kelurahan (pengarem-arem), tanah kas desa, dan tanah untuk kepentingan umum.

“Meskipun masih bagian dari tanah kasultanan dan kadipaten, tetapi model hak milik ini paling enggak desa punya kebebasan untuk mengelola tanah desa tersebut,” tutur dia.

Kepastian yang masih membingungkan

Wujud sertifikat tanah desa di DIY yang telah disesuaikan statusnya menjadi hak pakai berada di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Foto diambil pada Kamis (20/5/20210).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Wujud sertifikat tanah desa di DIY yang telah disesuaikan statusnya menjadi hak pakai berada di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Foto diambil pada Kamis (20/5/20210).

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Kembali Terjadi, Satu Remaja Tewas dalam Tawuran Pelajar di Brebes

Kembali Terjadi, Satu Remaja Tewas dalam Tawuran Pelajar di Brebes

Regional
2 Hektar Lahan di Gunung Sumbing Kembali Terbakar, 78 Petugas Diterjunkan Padamkan Api

2 Hektar Lahan di Gunung Sumbing Kembali Terbakar, 78 Petugas Diterjunkan Padamkan Api

Regional
Sempat Mangkir, Terpidana Korupsi Ganti Rugi Lahan Tol Padang-Pekanbaru Dieksekusi

Sempat Mangkir, Terpidana Korupsi Ganti Rugi Lahan Tol Padang-Pekanbaru Dieksekusi

Regional
Banten Tetapkan Status Darurat Kekeringan

Banten Tetapkan Status Darurat Kekeringan

Regional
10 Tempat Bersejarah di Indonesia, Ada Warisan Budaya UNESCO

10 Tempat Bersejarah di Indonesia, Ada Warisan Budaya UNESCO

Regional
Siswa MA di Demak Bacok Gurunya Diduga Simpan Dendam

Siswa MA di Demak Bacok Gurunya Diduga Simpan Dendam

Regional
DKPP Terima 262 Aduan Dugaan Pelanggaran Kode Etik, 7 Aduan Penyelenggara Pemilu dari Banten

DKPP Terima 262 Aduan Dugaan Pelanggaran Kode Etik, 7 Aduan Penyelenggara Pemilu dari Banten

Regional
Terima Undangan Rakernas PDI-P IV, Gibran: Jumat Berangkat

Terima Undangan Rakernas PDI-P IV, Gibran: Jumat Berangkat

Regional
Puluhan Warga Aceh Timur Diduga Keracunan Gas PT Medco, Sempat Cium Bau Telur Busuk

Puluhan Warga Aceh Timur Diduga Keracunan Gas PT Medco, Sempat Cium Bau Telur Busuk

Regional
SDI Wolooka Nagekeo Terbakar, 3 Ruang Kelas Hangus

SDI Wolooka Nagekeo Terbakar, 3 Ruang Kelas Hangus

Regional
Innova Reborn Ringsek Usai Hantam 2 Truk di Palembang, 3 Orang Terluka

Innova Reborn Ringsek Usai Hantam 2 Truk di Palembang, 3 Orang Terluka

Regional
Baru Sepekan Lengser, Eks Walkot Palembang Harnojoyo Diperiksa Jaksa

Baru Sepekan Lengser, Eks Walkot Palembang Harnojoyo Diperiksa Jaksa

Regional
Kurir Sabu Fredy Pratama Mengaku Diperintahkan Ganti KTP Tiap Ganti Hotel

Kurir Sabu Fredy Pratama Mengaku Diperintahkan Ganti KTP Tiap Ganti Hotel

Regional
Kecelakaan Maut di Bawen Bermula Saat Sopir Truk Kesulitan Memindahkan Persneling

Kecelakaan Maut di Bawen Bermula Saat Sopir Truk Kesulitan Memindahkan Persneling

Regional
Keluhkan Upah Jateng Terendah se-Indonesia, Buruh Minta Pj Nana Naikkan UMP 15 Persen

Keluhkan Upah Jateng Terendah se-Indonesia, Buruh Minta Pj Nana Naikkan UMP 15 Persen

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com