Lutfi menyampaikan, proses sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan mengubah sekaligus bertentangan dengan konstruksi hukum yang telah diatur dalam UUPA.
Lagi pula, menurut dia, penggunaan petunjuk teknis yang dikeluarkan Menteri ATR/BPN sebagai dasar hukum untuk sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan tidaklah cukup.
“Hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria,” kata Lutfi.
Lutfi menganggap, sertifikat tanah desa terbaru yang menjadi milik kasultanan atau kadipaten yang akan dikeluarkan BPN tidak pernah diakui oleh UUPA maupun Peraturan Menteri ATR Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
“Ini menggunakan dua konsep yang digabung. Alasnya menggunakan tanah kasultanan, tapi ketika diberikan hak pakainya menggunakan hukum formal UUPA. Ini anomali dan standar ganda (hukum pertanahan). Ini membingungkan kami semua,” jelas dia.
Kekhawatiran desa atas program sertifikasi ulang tanah desa di DIY itu pun lumrah terjadi. Mengingat Perdais Pertanahan baru mengatur peralihan status tanah desa, tetapi tak mengatur konsekuensinya.
“Yang jadi pertanyaan kan kalau (tanah desa) sudah disertifikatkan (jadi milik kasultanan dan kadipaten), apa konsekuensinya?” tutur Luthfi.
Baca juga: Kantornya Dilempar Molotov, LBH Yogyakarta: Kami Tak Takut
Namun Luthfi meyakini, para pejabat pemerintahan sebenarnya paham konsekuensi lanjut dari sertifikasi ulang tanah desa.
Salah satunya, kewenangan negara terhadap hak pemerintah desa atas tanah desa semakin terkikis.
“Keuntungannya semua teraglomerasi untuk kepentingan Sultan dan Pakualaman,” imbuh dia.
Senada, Guru Besar Tata Negara Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni'matul Huda, menilai dasar hukum petunjuk teknis dan Pergub Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa untuk proses sertifikasi tidak tepat.
Sebab, petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur saja dan legalitasnya tidak diakui dalam aturan hukum.
“Mengubah (status) tanah desa tidak boleh pakai juknis. Sertifikasi tanah desa atas nama kasultanan cacat prosedur,” kata Ni’matul saat diwawancarai secara daring, Senin (14/6/2021).
Semestinya, menurut dia, ada aturan lebih tinggi, seperti peraturan daerah atau pun peraturan menteri yang dibuat dan digunakan dengan catatan tidak bertentangan dengan aturan hukum pertanahan.
“Menyakitkannya tuh status tanah kasultanan, tapi kok diaturnya pakai pergub. Kalau mau digugat kan gugat gubernur, bukan Sultan. Padahal tanah SG kan diklaim milik Sultan, bukan gubernur. Tanahnya kan bukan tanah pemda,” sebut Ni’matul.
Baca juga: Teror Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta, 2 CCTV Rusak, Tetangga Tak Dengar Suara Keributan
Anggota tim hukum Keraton Yogyakarta Achiel Suyanto mempersilakan apabila ada pihak-pihak yang menilai dasar hukum sertifikasi tanah desa dan penyesuaian sertifikat tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan dan kadipaten lemah lantaran hanya mengacu pada juknis Menteri ATR/Kepala BPN dan Pergub Pemanfaatan Tanah Desa.
“Jadi jangan menyimpulkan, oh ini dasar hukumya lemah. Ya diuji saja di Mahkamah Konstitusi. Silakan. Kami tunggu kalau memang perlu ada (aturan lebih tinggi) yang mengatur seperti itu (sertifikasi tanah desa),” ucap Achiel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.