Saat diminta konfirmasi, Kasi Penatausahaan Pertanahan Dispertaru Sleman Yuli Nastiti membenarkan pihaknya menyimpan seluruh sertifikat asli tanah desa di Sleman.
Dalam sertifikat asli hak pakai Nomor 18 yang disimpan Dispertaru Sleman, tulisan “negara bekas” juga telah dicoret.
Yuli menyatakan tidak tahu-menahu terkait pencoretan itu. Dia melimpahkan kasus pencoretan itu kepada BPN Sleman dan Dispertaru DIY.
“Saya tidak tahu alasannya (pencoretan). Coba nanti kami konfirmasi ke BPN. Kami juga sudah ngomong-ngomong dengan provinsi. Sebaiknya tanya ke Dispertaru DIY karena itu di luar kewenangan kabupaten,” kata Yuli.
Baca juga: Jumlah Kunjungan Turis ke Pinus Sari Yogyakarta Meningkat Saat Akhir Pekan
Kepala BPN Sleman Bintarwan Widiasto saat dikonfirmasi tentang dugaan praktik pencoretan sertifikat tanah desa di Sleman mengaku tidak mengetahui.
“Itu saya tidak tahu siapa yang coret, sertifikatnya di sana (Dispertaru Sleman) dicoret, saya tidak mengerti kenapa bisa demikian,” kata Bintarwan ditemui di tempat kerjanya, Kamis (24/6/2021).
Bintarwan mencoba menunjukkan arsip buku tanah (yang juga berisi arsip sertifikat tanah) terkait tanah Desa Sidoluhur yang dimaksud. Ternyata pada sertifikat tersebut tidak ada pencoretan kata “tanah negara”.
Dia mengatakan dalam buku tanah untuk bidang tanah desa lainnya juga tidak ada pencoretan.
“Data asli kami tidak dicoret. Hampir semua sertifikat tidak ada coretan,” ujarnya.
Bintarwan menjamin pencoretan data dalam kolom petunjuk di sertifikat tanah Desa Sidoluhur yang disimpan Dispertaru Sleman tidak akan berpengaruh apa-apa.
Lagi pula, menurut Bintarwan, hak pengelolaan tanah desa oleh pemdes tak akan berubah setelah dilakukan pencoretan kata-kata di dalam kolom petunjuk sertifikat.
“Mau dicoret bagaimana pun, sertifikat yang dipegang badan hukum atau perorangan di luar, BPN Sleman hanya akan mengacu pada arsip buku tanah yang disimpan di Kantor BPN,” kata Bintarwan.
Baca juga: Dijanjikan Kerja di Restoran, Gadis di Yogyakarta Dipaksa Layani Pria Hidung Belang
Dia juga mengklaim program pencatatan perubahan sertifikat tak akan memengaruhi hak pakai desa atas tanah tersebut.
Dia memaknai program tersebut hanya memiliki tujuan untuk tertib administrasi dan pengamanan aset kasultanan atau kadipaten.
“Jangan sampai ada tukar-menukar, jual beli, dan sebagainya yang tidak termonitor pihak kasultanan atau kadipaten,” kata Bintarwan.
Saat diminta tanggapan, Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN Tri Wibisono menyebutkan, pencoretan kata “negara bekas” dalam sertifikat tanah desa Sidoluhur bisa jadi dilakukan oleh tim inventarisasi tanah kasultanan dan kadipaten.
Tapi dia tidak bisa memastikan hal itu. Dia juga mengamini pernyataan Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengku Buwono X yang mengklaim tidak ada tanah negara di DIY.
Tri menambahkan, kecuali tanah itu diberikan kepada masyarakat, kemudian masyarakat melepaskannya menjadi tanah negara.
“Kami perlu identifikasi dulu kenapa kata “negara bekas” dicoret. Bisa jadi ada tim inventarisasi (memandang) asal usulnya (tanah desa) merupakan tanah kasultanan sehingga dicoret dan disesuaikan. Itu mungkin bisa disampaikan (dicoret) agar jelas,” tutur Tri yang juga mantan Kepala Kanwil BPN DIY.
Baca juga: BMKG: Gelombang Ekstrem Setinggi 6 Meter Ancam Perairan Sukabumi hingga Yogyakarta
Kemunduran dan cacat prosedur
Pengamat pertanahan, Ahmad Nashih Lutfhi, menilai program pendaftaran tanah desa dan penyesuaian hak atas tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten adalah wujud kemunduran yang terjadi di DIY.
Mengingat tanah adat telah diberikan kepada pemdes dengan pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984, tapi kini seakan diambil kembali oleh kasultanan saat ini.
“Kalau saya menyebut ini arus balik, dari status tanah adat diberikan kepada pemerintah desa pada reorganisasi agraria, sekarang diakui lagi sebagai tanah adat,” kata Lutfi saat diwawancarai secara daring, Selasa (15/6/2021).
Lutfi juga menyebut program pendaftaran tanah desa dan penyesuaian hak atas tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten juga sebagai sebuah anomali.
Pada satu sisi, dalam sertifikat tanah desa tidak diungkap secara eksplisit pemegang hak milik tanah hanya menjadi kasultanan atau kadipaten.
Tapi di sisi lain, hak tanah desa tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa.
“Kalau dalam kontruksi hukum normatif ini anomali. Pemerintah juga tidak sepenuhnya memiliki kewenangan itu karena hak pakainya di atas tanah milik kasultanan,” kata pengajar di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta itu.