Kebijakan Sultan memberikan izin kepada kerabat keraton untuk memanfaatkan tanah desa ditengarai bertentangan dengan semangat Undang-undang (UU) Keistimewaan.
Pada Pasal 16 dijelaskan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan kepada diri sendiri, anggota keluarga, atau kroni, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu.
“Sesuai UU Keistimewaan, tanah-tanah (yang disertifikasi menjadi milik keraton) kan enggak boleh untuk komersiil. Tapi (tanah) itu sekarang untuk komersiil,” ucap mantan Ketua Fraksi PAN DPRD DIY Nazarudin saat ditemui pada Senin (5/4/2021).
Semula Wakil Ketua DPRD DIY Suharwanta juga memandang kebijakan Perdais Pertanahan bertentangan juga dengan semangat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Baca juga: Rapat dengan Sultan HB X, Ini Pesan Jokowi untuk Kepala Daerah di DIY
Berdasarkan UU Desa, tanah desa di DIY seharusnya bukan milik kasultanan atau kadipaten, melainkan milik desa.
“Sebelum UU Desa lahir, di DIY sudah ada Perda Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY yang menegaskan tanah desa menjadi milik desa,” kata Suharwanta di ruang kerjanya, Senin (15/3/2021).
Dalam Pasal 6 disebutkan, kelurahan sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah. Tanah itu selanjutnya disebut tanah desa.
Tanah desa antara lain dapat digunakan untuk memberi nafkah kepada para petugas kelurahan (tanah lungguh), memberi pengarem-arem (pensiun), kas desa, dan kepentingan umum.
Namun seiring berjalannya waktu, Fraksi PAN DPRD DIY yang punya sikap berbeda soal pembahasan Raperdais Pertanahan akhirnya menerima.
“Kami memang harus mengakui (pengesahan Perdais Pertanahan). Ini bagian dari cara pengambilan keputusan,” imbuh dia.
Menurut Suharwanta, klaim tanah desa menjadi tanah kasultanan atau kadipaten memiliki kelebihan karena penguasaannya oleh satu pihak.
Baca juga: Kantor LBH Yogyakarta Diteror dengan Bom Molotov
Ketika tanah desa akan digunakan, hanya perlu berurusan dengan kasultanan atau kadipaten.
Di sisi lain, dia mengingatkan perlu ada komitmen kuat dari kasultanan atau kadipaten untuk menjaga betul pemanfataan tanah sesuai UU Keistimewaan.
“Harus ada komitmen (dari kasultanan atau kadipaten) yang harus kita jaga bersama. Pemanfaatan tanah tidak boleh melenceng dari aturan,” jelas dia.
Ada tiga hal yang ditekankan dalam Pasal 32 UU Keistimewaan terkait pemanfaatan tanah desa.
Tanah-tanah tersebut hanya boleh dipergunakan untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
“Tanah tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan,” kata Suharwanta.
Suharwanta pun meminta Pemda DIY melakukan pengawasan ketat agar pemanfaatan tanah desa berjalan secara akuntabel dan terbuka.
DPRD DIY, lanjut dia, juga dijanjikan tidak akan tinggal diam dengan mengawasi setiap kebijakan kasultanan atau kadipaten terkait penggunaan tanah desa maupun SG dan PAG.
“Masyarakat juga harus ikut mengawasi. Tanah ini kan milik bersama sebenarnya,” ujarnya.
Sementara saat dikonfirmasi, Sultan menampik keluarganya dituding terlibat berbagai bisnis yang memanfaatkan tanah desa, baik untuk perhotelan, arena wisata, maupun industri.
Dia menyebut, jika sampai keluarganya masuk dalam bisnis, maka itu hanya akal-akalan dari pihak lain yang disengaja agar dipercaya.
“Yo ora mungkin keluargaku (terlibat bisnis). Anak-anakku gitu? Enggak ada, itu nyatut berarti. Itu semua orang cari duit supaya dipercaya. Wong sing (pedagang) kaki lima neng alun-alun mengatakan, kulo mpun utus Gusti Mangkubumi untuk nyuwun retribusi. Ya disalahgunakan orang saja. Anakku enggak ada yang bisnis,” jelas Sultan.
Baca juga: Ini 2 Langkah Sultan HB X Atasi Pandemi Covid-19 di Yogya...
Sultan pun membantah keluarga keraton mendapatkan pembagian hasil dari bisnis orang lain yang menggunakan tanah kas desa.
“Saya bukan pengusaha. Enggak pernah akan ada, anak-anak saya maupun saya itu punya share (pembagian keuntungan) dengan orang lain,” ujar Sultan yang kemudian buru-buru pergi meninggalkan kepatihan dengan alasan ada kegiatan lain.
Anggota Tim Hukum Keraton Yogyakarta, Achiel Suyanto juga menyangsikan tudingan keterlibatan kerabat keraton Yogyakarta dalam bisnis-bisnis yang memanfaatkan tanah desa di DIY.
Dia membandingkan praktik-praktik bisnis zaman Orde Baru yang disangka milik keluarga Cendana, padahal belum tentu benar.
Menurut dia, kondisi tersebut juga dialami keluarga Keraton Yogyakarta.
“Hampir sama dengan keluarga keraton. Dikatakan, oh itu (bisnis) punya keluarga keraton, si A, si B. Padahal mereka (keluarga keraton yang dimaksud) enggak tahu-menahu,” tutur Achiel secara daring, Rabu (1/9/2021).