Siswantoro mengatakan, dia juga diminta menjaga kondisi anaknya.
Karena dengan sakitnya tersebut, Salis menjadi mudah sakit dan harus menjalani tranfusi darah minimal satu bulan sekali sebanyak delapan kantong.
"Selain itu juga menjaga agar Salis tidak banyak pikiran, tidak boleh lelah, dan makannya juga dijaga. Kalau salah-salah, bisa drop dan gusinya berdarah," paparnya.
Karena tidak boleh banyak pikiran, Salis pun berhenti sekolah saat kelas 1 SD.
"Pernah nekat sekolah satu minggu, malah dirawatnya dua minggu di rumah sakit. Akhirnya stop sekolah dan di rumah saja," kata Siswantoro.
Baca juga: Pernah Diteriaki Penonton, Ini Perjuangan Lia hingga Jadi Wasit Badminton Olimpiade Tokyo 2020
Dikatakan, kondisi saat ini terasa berat karena dia kehilangan pekerjaan.
"Dulu saya kerja di rental sound dan tenda, tapi selama pandemi Covid-19 ya tidak ada order. Ibunya juga tidak kerja karena harus menjaga Salis setiap waktu, juga memantau ya," kata Siswantoro.
Saat ini, dia hanya mengandalkan pendapatan dari upah menjadi wasit pertandingan sepakbola.
"Sekali pertandingan bisa dapat Rp 50.000, tapi juga tidak tentu karena tergantung yang mengundang. Tapi tidak masalah, yang penting ada pemasukan," ujarnya.
Dia mengungkapkan menjadi wasit dilakoninya dengan sepenuh hati karena merupakan hobinya sedari muda memang sepakbola.
"Mau jadi pemain profesional tidak mungkin, jadinya wasit saja. Untuk hiburan saya, sekaligus masyarakat yang menonton," kata Siswantoro.
Saat ini, dia memiliki lisensi wasit C2 sehingga boleh memimpin pertandingan hingga tingkat provinsi.
"Semoga pertandingan liga segera diputar dan saya ada pemasukan yang lebih baik. Kalau ada kesempatan, saya juga ingin ikut pelatihan untuk meningkatkan lisensi, tapi terpenting fokus saya kepada Salis dulu," kata Siswantoro.
Meski begitu, Siswantoro mengakui kendala terbesarnya adalah dia tidak memiliki sepeda motor.
"Saya jual dua bulan lalu, karena waktu itu memang butuh untuk perawatan Salis. Jadi ya saya jalan ke lapangan, jaraknya yang terjauh sekitar 15 kilometer," papar wasit lisensi C2 ini.
Baca juga: Kisah Qomarul Lailah, Guru SD Asal Surabaya Jadi Wasit Badminton di Olimpiade Tokyo 2020
Begitu juga jika akan mengantar Salis berobat ke RSUP. Kariadi, dia menggunakan jasa mobil carteran.
"Sekali berangkat minimal butuh Rp 200.000, ya saya usahakan ada uang karena kondisi Salis tidak bisa diprediksi. Kalau drop harus segera dirawat," kata Siswantoro.