PAMEKASAN, KOMPAS.com - Madura pernah menjadi sebuah negara meskipun dalam waktu yang sangat singkat.
Tanggal 20 Februari 1948, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Hubertus Johannes Van Mook mengakui keberadaan negara Madura setelah wilayah tersebut menggelar pemungutan suara atau pemilihan umum.
Baca juga: Tanean Lanjhang, Rumah Adat Madura, Simbol Kuatnya Kekerabatan dan Keharmonisan Cinta
Dikutip dari buku Pamekasan Dalam Sejarah yang ditulis Kutwa Fath dan kawan-kawan, sebelum pemilihan umum dilaksanakan, tanggal 14 Januari 1948, pemerintah pendudukan Belanda di Madura mengadakan pertemuan dengan segelintir tokoh di seluruh Madura.
Pertemuan itu atas desakan Belanda dan anggota yang hadir juga sudah diatur oleh Belanda.
Tujuan pertemuan tersebut, untuk memutuskan status Madura setelah persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, di mana Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yaitu Jawa, Sumatra dan Madura.
Dalam pertemuan itu disetujui, pelaksanaan Pemilu untuk menentukan nasib Madura.
Tanggal 23 Januari 1948, Pemilu dilaksanakan dengan penuh tekanan dari Belanda.
Ada 305.546 orang yang berhak ikut serta dalam pemilihan tersebut.
Namun yang memberikan hak pilihnya hanya 219.660 orang.
Dari jumlah tersebut, 199.510 orang setuju dengan Negara Madura dan 9.923 orang tidak setuju dengan negara Madura. Sedangkan yang tidak memberikan hak suara 10.230 orang.
Berdasarkan hasil Pemilu tersebut, R. A. A Cakraningrat ditunjuk sebagai Wali Negara.
Menurut Kutwa Fath, Pemilu penentuan nasib Madura dibayang-bayangi dengan ancaman dari pihak Belanda.
Bahkan banyak warga yang ditahan dan kaum perempuan tidak memiliki hak suara.
Terbentuknya negara Madura itu, menuai penolakan dari tokoh-tokoh pro-republik.
Sebab, jauh sebelum Pemilu dilaksanakan, kaum pro-republik sudah merencanakan pemberontakan terhadap Belanda.
Dari kalangan rakyat, terbentuk pemerintah bayangan yang mendapat restu dari Negara Kesatuan RI di Yogyakarta.
Baca juga: Wisata Pamekasan di Pulau Madura, Jawa Timur Buka Lagi, Ini Ketentuannya