Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Tanah Bergerak, Tak Cuma karena Faktor Alam

Kompas.com - 13/09/2021, 17:11 WIB
Reni Susanti,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi


BANDUNG, KOMPAS.com - Koordinator Riset Longsoran dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Sadisun mengatakan, ada beberapa jenis gerakan tanah, seperti penurunan tanah dan longsor.

Menurut Imam, gerakan tanah yang sering terjadi di Jawa Barat adalah longsoran.

Hal itu karena wilayah perbukitan dan pegunungan di Jabar memiliki lereng yang terjal.

Daerah dengan ancaman bahaya longsoran tertinggi di Jabar ada di Cianjur Selatan, Bogor Utara, Garut selatan, Tasikmalaya selatan, Sumedang utara, serta wilyah perbatasan Kuningan dan Ciamis.

Baca juga: Jalan Trans Sulawesi Ambles karena Tanah Bergerak, 1 KK Mengungsi

Menurut Imam, ada hal yang perlu diwaspadai, yakni potensi banjir bandang akibat longsor yang menghalangi atau menyumbat aliran sungai yang mengalir menuju wilayah kaki lereng cekungan bandung.

Apabila ini terjadi, menurut Imam, bisa mengakibatkan bencana yang dahsyat.

Kepala Laboratorium Geologi Rekayasa Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB ini menjelaskan mengenai dua penyebab gerakan tanah.

Keduanya yakni, alamiah dan non-alamiah (manusia).

“Jangan salahkan alam, karena mereka berproses. Demi kestabilan (alam) terus berubah, karena bumi juga tidak diam,” ujar Imam saat dihubungi Kompas.com, September 2021.

Baca juga: Cerita Penyintas Bencana Tanah Bergerak, Susuri Longsoran demi Ikut Vaksinasi, Sampai di Puskesmas Vaksin Habis...

Menurut Imam, kegiatan manusia dalam mengolah lahan atau lingkungan juga berdampak pada potensi gerakan tanah.

Misalnya seperti alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan atau pertanian tanpa terasering.

Kemudian, tanpa pengaturan sistem drainase yang baik, bahkan sama sekali tidak mengindahkan kestabilan lerengnya.

Untuk itu, dibutuhkan tata kelola lahan yang lebih baik dan bijak.

 

Untuk lahan dengan ancaman bahaya longsor yang tinggi, menurut Imam, semestinya hanya dijadikan sebagai kawasan lindung.

Pertumbuhan jumlah penduduk dinilai berimbas pada bertambahnya kebutuhan lahan pemukiman dan lahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk industri.

Untuk itu, regulasi tata ruang perlu dibuat dengan baik, kemudian dikawal agar dijalankan dengan benar.

Baca juga: Terungkap, Lokasi Tanah Bergerak di Purworejo Masuk Zona Kuning

Menurut Imam, saat ini pemerintah harus mengurangi kerentanan.

Salah satunya dengan mengoptimalkan mitigasi yang dilakukan terus-menerus.

“Mitigasi harus dilakukan terus-menerus selama ancaman longsor masih ada, selama manusia masih melakukan kegiatan. Karena alam ini banyak ketidakpastian, di situlah mitigasi penting,” tutur Imam.

Contoh mitigasi yang sifatnya struktural untuk stabilitasi tidak harus dengan teknologi mahal.

Bisa dengan cerucuk bambu, brojong, namun dipastikan dengan kaidah yang benar.

Menurut Imam, Indonesia bisa belajar dari Jepang mengenai mitigasi bencana.

Sebab, Jepang banyak berurusan dengan bencana alam, mulai dari sesar aktif hingga gunung api.

“Jepang dikeliling potensi bencana yang banyak. Tapi mereka bisa menjadi negara maju,” kata Imam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Motor Dibegal di Kemranjen Banyumas, Pelajar Ini Dapat HP Pelaku

Regional
Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Penipuan Katering Buka Puasa, Pihak Masjid Sheikh Zayed Solo Buka Suara

Regional
Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Setelah 2 Tahun Buron, Pemerkosa Pacar di Riau Akhirnya Ditangkap

Regional
Cemburu, Pria di Cilacap Siram Istri Siri dengan Air Keras hingga Luka Bakar Serius

Cemburu, Pria di Cilacap Siram Istri Siri dengan Air Keras hingga Luka Bakar Serius

Regional
Buntut Kasus Korupsi Retribusi Tambang Pasir, Kades di Magelang Diberhentikan Sementara

Buntut Kasus Korupsi Retribusi Tambang Pasir, Kades di Magelang Diberhentikan Sementara

Regional
Nasib Pilu Nakes Diperkosa 3 Pria di Simalungun, 5 Bulan Pelaku Baru Berhasil Ditangkap

Nasib Pilu Nakes Diperkosa 3 Pria di Simalungun, 5 Bulan Pelaku Baru Berhasil Ditangkap

Regional
Kepsek SMK di Nias Bantah Aniaya Siswanya sampai Tewas, Sebut Hanya Membina

Kepsek SMK di Nias Bantah Aniaya Siswanya sampai Tewas, Sebut Hanya Membina

Regional
30 Ibu Muda di Serang Jadi Korban Investasi Bodong, Kerugian Capai Rp 1 Miliar

30 Ibu Muda di Serang Jadi Korban Investasi Bodong, Kerugian Capai Rp 1 Miliar

Regional
Penipuan Katering Buka Puasa Masjid Sheikh Zayed Solo, Dua Pengusaha Rugi Hampir 1 Miliar

Penipuan Katering Buka Puasa Masjid Sheikh Zayed Solo, Dua Pengusaha Rugi Hampir 1 Miliar

Regional
Pimpinan Ponpes Cabul di Semarang Divonis 15 Tahun Penjara

Pimpinan Ponpes Cabul di Semarang Divonis 15 Tahun Penjara

Regional
Viral, Video Penggerebekan Judi di Kawasan Elit Semarang, Ini Penjelasan Polisi

Viral, Video Penggerebekan Judi di Kawasan Elit Semarang, Ini Penjelasan Polisi

Regional
Pj Wali Kota Tanjungpinang Jadi Tersangka Kasus Pemalsuan Surat Tanah

Pj Wali Kota Tanjungpinang Jadi Tersangka Kasus Pemalsuan Surat Tanah

Regional
Polisi Aniaya Istri Gunakan Palu Belum Jadi Tersangka, Pelaku Diminta Mengaku

Polisi Aniaya Istri Gunakan Palu Belum Jadi Tersangka, Pelaku Diminta Mengaku

Regional
Ngrembel Asri di Semarang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Ngrembel Asri di Semarang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Regional
Gunung Ruang Kembali Meletus, Tinggi Kolom Abu 400 Meter, Status Masih Awas

Gunung Ruang Kembali Meletus, Tinggi Kolom Abu 400 Meter, Status Masih Awas

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com