Pada saat duduk di bangku SMP, Ajeng disuruh untuk membersihkan kamar orangtuanya.
Saat itu, Ajeng menemukan dokumen hak asuhnya yang menunjukkan bahwa dirinya bukan anak kandung.
Tak hanya dokumen yang ia temukan, tetapi dia juga menemukan fotokopi KTP ibu kandungnya yakni D.
“Dapat dokumen itu dan mau menangis, ada fotokopi KTP mama juga mirip saya,” katanya.
Ajeng lalu menceritakan temuannya kepada guru Bimbingan Konseling (BK).
Ia berharap ada jalan keluar yang diberikan oleh sang guru. Pada saat itu, Ajeng juga berharap guru BK tidak menceritakannya kepada orangtuanya.
Baca juga: Terpisah Sejak Lahir, Kembar Nadya Nabila Tetap Punya Fobia dan Hobi yang Sama
Namun, selang beberapa hari orangtua Ajeng diundang ke sekolah.
“Kalau cerita ke BK kan seharusnya kan rahasia. Tapi habis cerita papa datang ke sekolah dan menanyakan dapat dokumen ini dari mana, lalu dokumen diambil papa,” kata dia.
Saat Ajeng duduk di kelas 1 SMA ia tidak diperbolehkan ikut untuk mengambil rapor oleh orangtuanya.
Setelah pengambilan rapor Ajeng diberi kabar tidak naik kelas dan di-drop out (DO) dari sekolahnya.
Ajeng heran mengapa dia bisa tinggal kelas dan di-DO oleh pihak sekolah, padahal selama bersekolah SMA termasuk orang yang rajin dan berprestasi. Ajeng juga menerima beberapa piagam.
“Setelah dikabari tidak naik kelas saya minta rapor saya di bagian mana saya yang membuat tidak naik kelas tetapi nggak dikasih. Dari kejadian ini semua mulai disita seperti laptop, gawai jadi nggak bisa komunikasi,” ungkapnya.
Ajeng cukup cerdik sebelum gawai diserahkan kepada orangtua angkatnya, sempat mencopot kartu SIM miliknya.
Dia juga teringat bahwa masih memiliki ponsel yang tidak terpakai.
Dengan menggunakan gawai itu, ia mencoba menghubungi kawannya dan menyampaikan niatnya untuk kabur dari rumah.
Baca juga: Terpisah 35 Tahun, Emmanuella dari Liverpool Cari Ibu Kandung di Sleman: Saya Ingin Bertemu
Sebelum kabur dari rumah ia siapkan dokumen-dokumen seperti ijazah dan pakaian.
“Saat itu hanya membawa beberapa potong baju saja, sama uang Rp 200.000. Setelah itu saya berniat mencari kerja di Malang karena kotanya lebih besar pasti ada pekerjaan di sana, kat dia.
Sesampainya di Malang, ia berpikir harus segera mendapatkan kamar kos dan segera mendapatkan pekerjaan.
Tak lama, Ajeng mendapatkan informasi ada sebuah warung makan yang membutuhkan pramusaji.
“Saya tanyakan lowongan jadi waitress, ternyata masih ada dan saat itu saya ceritakan masalah saya. Awalnya tidak diterima karena saya masih di bawah umur yaitu 16 tahun. Melihat kondisi saya akhirnya diperbolehkan dengan syarat saya harus merahasiakan asal dan umur saya,” jelas dia.
Tak hanya sebagai pramusaji, Ajeng juga berkesempatan menjadi pengasuh bayi dan bekerja di sebuah binatu.