Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kasus Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono dan Pelajaran Penting bagi Partai Politik

Kompas.com - 04/09/2021, 17:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tidak ada lagi balas budi – walaupun misalnya Budhi telah menyetor sejumlah komitmen kepada partai pengusungnya – apalagi bantuan hukum atau support moral dari partai kepada kadernya yang terjerat kasus korupsi.

Seorang kepala daerah yang dicokok KPK pernah curhat pada saya betapa ia merasa sangat bersalah. Malu setengah mati bahkan ingin bunuh diri karena sematan status tersangka dan diekspose terbuka di media. Itu derita tiada tara. 

Derita itu berganda saat partai yang dihormatinya memecat dan menyalahkannya di depan media. Segala jasa terhadap partai hilang tanpa bekas. Parta bahkan tak mau memberi pembelaan.  

Hubungan antara partai dan kader hanya sebatas relasi produsen dan konsumen. Jika ada produk cacat atau reject maka tanggungjawab diserahkan kepada rakyat yang memilihnya. Partai lepas tangan dan berkilah bahwa kepala daerah tidak pernah melakukan koordinasi. Perbuatan korupsinya adalah tanggung jawab pribadi.

Hanya sedikit partai politik yang serius dalam mempersiapkan calon-calon kadernya untuk menjadi kepala daerah. Bisa dihitung dengan jari partai politik di Indonesia yang memiliki sekolah partai.

Padahal, seperti yang pernah saya kunjungi dan saksikan di China misalnya, partai politik begitu serius dalam menyiapkan kader-kadernya untuk berkiprah di tugas eksekutif dan legeslatif.

Partai harus memiliki kewajiban moral untuk terus mengawal, mengkoreksi, dan memberi guidance para kadernya yang telah menjadi kepala daerah. Partai tidak boleh lepas tangan.

Di mana peran dewan pimpinan pusat partai? Di mana fungsi dewan pimpinan daerah partai? Apa gunanya dewan pimpinan cabang partai ?

Bisa jadi Budhi Sarwono salah melangkah, tetapi naif juga “melepeh” Budhi di saat susah. Ketika Budhi meraih penghargaan atas capaian kerjanya, partai tanpa dikomando akan membusungkan dada dan membanggakan capaian kadernya.

 

Memang kerap juga terjadi, ada kepala daerah yang merasa “pintar” sendiri dan tidak menggubris arahan dan saran konstruktif dari partai pengusungnya.

Pelajaran penting

Pelajaran penting: partai politik tidak boleh mengedepankan lagi politik "sachet-an" alias politik instan dalam merekrut calon kepala daerah.

Parameter kemenangan calon kepala daerah selalu dinilai partai politik dari indikator yang bersifat kuantitatif seperti popularitas dan elektabilitas.

Partai kerap melupakan data-data kualitatif. Rekam jejak calon kadang dan sering diabaikan dalam menyeleksi kandidat kepala daerah.

Suara-suara di warung kopi, celoteh perempuan di pasar, harapan milenial di sekolah, jerit petani di pelosok kerap tidak masuk dalam kuisoner yang ditebar lembaga survei yang dibayar partai untuk menjaring calon-calon kepala daerah.

Bisa jadi, Budhi menang di Banjarnegara karena ia populer dengan aksi-aksi sosialnya. Warga kadung jatuh cinta dengan cerita heroiknya yang berhasil bermetamoforsa dari seorang pecundang menjadi hero.  Warga juga antipati dengan bupati sebelumnya yang dianggap “omdo” atau omong doang yang manis-manis saat kampanye tetapi kendor usai menjabat.

Harus diakui pula bahwa masyarakat Banjarnegara seperti warga di banyak daerah lain, lebih suka memilih calon yang rajin menebar sembako apalagi amplop di saat kampanye ketimbang visi-misi kerakyatan yang diusung.

Kekhilafan menentukan pilihan selama lima menit di bilik suara Pilkada akan membawa penyesalan di lima tahun berikutnya.

Semoga kasus yang menimpa Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono menjadi titik bangkit warga Banjarnegara untuk ingat dengan slogan "gilar-gilar" yang digaungkan Endro Soewarjo, Bupati Banjarnegara periode 1986 – 1991.

"Gilar-gilar" adalah sembilan aspek kehidupan yang mencerminkan cita-cita Kabupaten Banjarnegara, yaitu bersih, tertib, teratur, indah, aman, nyaman,tentram, sopan, dan sehat.

Sudahkah Anda  semua – termasuk saya – menerapkan sembilan aspek ini dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal memilih pemimpin? Ataukah slogan ini hampa, tanpa makna, kosong? 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com